Jakarta – Pemerintah terus berupaya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi para produsen yang telah berinvestasi di Indonesia.
Langkah strategis ini misalnya diwujudkan dalam mengembangkan industri elektronika di tanah air agar bisa lebih berdaya saing melalui penerbitan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 6 tahun 2024 tentang Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis Impor Produk Elektronik.
Pengaturan arus impor ini sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden atas kondisi neraca perdagangan produk elektronik pada tahun 2023 yang masih menunjukkan defisit.
Maka itu, berdasarkan pertimbangan usulan dan kemampuan industri dalam negeri, ditetapkan terdapat 139 pos tarif elektronik yang diatur dalam Permenperin 6/2024, dengan rincian 78 pos tarif diterapkan Persetujuan Impor (PI) dan Laporan Surveyor (LS) serta 61 pos tarif lainnya diterapkan hanya dengan LS.
“Regulasi ini merupakan upaya konkret dari pemerintah dalam menciptakan kepastian berinvestasi bagi pelaku industri di Indonesia khususnya dalam rangka memproduksi produk elektronika di dalam negeri,” kata Direktur Industri Elektronika dan Telematika (IET) Kemenperin, Priyadi Arie Nugroho.
Disisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani menyebut bahwa tidak semua produk elektronik yang dibatasi importasinya diproduksi di Indonesia. Artinya, jika terjadi pembatasan, masyarakat sebagai konsumen jelas akan mengalami kerugian seperti kelangkaan produk dan harga pasar atas produk elektronik di pasar domestik akan menjadi lebih mahal.
“Efeknya bisa dipastikan akan menjadi inflasi yang lebih tinggi di masyarakat dan pelaku usaha di sektor perdagangan juga akan dirugikan,” kata Shinta.
Dirinya khawatir regulasi ini akan memicu impor ilegal yang lebih tinggi, karena regulasi ini menambah beban impor legal.
“Jadi, ketika aturan ini diberlakukan bisa saja impor akan “shifting” dari impor legal ke impor ilegal karena pasar domestik masih membutuhkan impor produk elektronik,” jelasnya.
Menurutnya, regulasi pembatasan impor ini juga belum secara signifikan membantu pertumbuhan industri di dalam negeri dan UMKM. Pasalnya, tidak banyak industri nasional yang memproduksi produk elektronik yang di-listing dalam regulasi ini. Apalagi, UMKM umumnya belum memiliki kemampuan untuk bergerak di industri elektronik, pada umumnya hanya di aksesoris barang elektronik.
Lebih lanjut, Shinta mengungkapkan bahwa pembatasan ini juga tidak menjamin adanya realisasi investasi di sektor industri manufaktur barang elektronik, karena yang diperhitungkan investor adalah daya saing ‘cost of doing business & ease of doing bisiness’ di subsektor manufaktur produk elektronik.
“Regulasi ini tentu tidak mengubah aspek-aspek cost of doing business & ease of doing business tersebut di sektor manufaktur produk elektronik,” jelasnya.
Oleh karena itu, dirinya memproyeksi aturan ini justru akan mempersulit pelaku usaha dan investor dalam memperoleh barang modal dan suku cadang mesin-mesin usaha, sehingga mengancam kelancaran produktivitas usaha.
Shinta berpandangan bahwa izin-izin impor ini tidak perlu ditambahkan, karena sejauh ini pelaku usaha di sektor formal sudah melakukan impor-impor dengan izin sesuai dengan aturan yang berlaku, justru yang diperlukan adalah peningkatan pengawasan terhadap proses impor, khususnya terhadap impor ilegal dan menindak tegas peredaran barang impor di pasar.
“Dengan demikian, aturan-aturan importasi yang ada tidak mengancam produktivitas usaha yang sudah ada. Kalau yang menjadi sasaran adalah mendatangkan investasi di sektor elektronik, kami harap pemerintah fokus saja pada perbaikan daya saing iklim usaha/investasi di sektor terkait,” katanya.