Jakarta – Pemerintah berencana kembali menaikkan tarif cukai rokok di tahun 2022 untuk mengendalikan konsumsi rokok, termasuk menurunkan angka prevalensi perokok.
Otoritas fiskal telah memasang target penerimaan cukai hasil tembakau pada 2022 yang kenaikannya mencapai Rp20 triliun dari sebelumnya Rp173 triliun menjadi Rp193 triliun di tahun 2022.
Dengan target kenaikan penerimaan cukai rokok tersebut, maka tarif cukai rokok berpotensi naik sangat tinggi dari tahun ini.
Senat Mahasiswa (Sema) UIN Jakarta dan Aliansi Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (Asmara UGM) menilai, kebijakan tarif cukai rokok selama ini tidak berorientasi kepada kesejahteraan petani dan buruh.
Ketua Sema UIN Jakarta, Muhamad Sahrul mengatakan, sektor pertembakauan merupakan sektor unggulan yang menunjang perkenomian negara dan menyerap tenaga kerja yang besar.
Menurutnya, sektor ini menjadi wadah bagi kesejahteraan banyak orang yang bergantung pada sektor Industri Hasil Tembakau (IHT).
“Setiap kebijakan haruslah berlandaskan kepada kesejahteraan rakyat sesuai dengan mandat dari UUD 1945. Sektor pertembakauan merupakan sektor padat karya, banyak orang mendapat kesejahteraan dari sini, tapi karena kenaikan cukai yang tinggi setiap tahunnya, justru menurunkan kesejahteraan yang sudah ada,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/10).
Dalam hasil kajian Sema UIN Jakarta disebutkan kondisi daya beli masyarakat sedang menurun akibat pandemi Covid-19, dengan adanya kenaikan tarif cukai rokok menyebabkan harga produk hasil tembakau tidak lagi terjangkau bagi masyarakat. Inilah yang membuat produksi turun, serapan bahan baku juga turun. Kesejahteraan petani, buruh dan konsumen menjadi terganggu.
“Terdapat logical fallacy yang dilakukan pemerintah dalam hal penerapan kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang mana dalam komponen penentuan tarif cukai rokok seharusnya berbasis mensejahterakan petani dan buruh. Kenyataannya hanya berorientasi terhadap penerimaan negara semata,” papar Sahrul.
Asmara UGM turut mengkritik persoalan realisasi kesejahteraan bagi petani melalui dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) yang belum maksimal, bantuan untuk petani dari DBHCHT hanya bersifat bantuan langsung atau top down hingga petani tidak bisa andil dalam perancangan program kesejahteraan.
“Ketika cukai naik seharusnya kesejahteraan petani meningkat dengan adanya DBHCHT tersebut, malah justru yang kami lihat adalah penurunan taraf hidup orang-orang yang berjibaku di sektor pertembakauan,” ujar Arma selaku perwakilan Asmara UGM.
Sedangkan Ekonom pertanian dari IPB, Prima Gandhi mengungkapkan, belum ada peran pemerintah sebagai fasilitator antara petani dan pabrik.
Petani dibiarkan saja mandiri, padahal komoditas tembakau dan cengkeh yang dihasilkan petani memberikan sumbangsih bagi perekonomian negara.
“Kita melihat sektor ini berperan sangat penting dalam menyumbang kas negara di saat sektor-sektor lain ambruk karena kondisi pandemi. Jadi untuk kebijakan cukai harus kasih win-win solution juga untuk industri hasil tembakau, karena ini merupakan sektor strategis,” tegasnya.