Bali – Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) merupakan pondasi untuk pemulihan ekonomi nasional yang inklusif. Terlebih, salah satu sasaran SDGs adalah mendorong pembangunan infrastruktur yang tangguh, meningkatkan industri inklusif dan berkelanjutan, serta mendorong inovasi.
Oleh karena itu, perlunya penekanan solidaritas yang merupakan kunci untuk membuka kemungkinan-kemungkinan untuk masa depan yang lebih baik dan lebih adil.
“Melalui semangat kolaborasi G20 ini, bersama-sama kita dapat mencapai cita-cita untuk Recover Together, Recover Stronger,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada sesi pembukaan Trade, Investment, and Industry Ministerial Meeting (TIIMM) Presidensi G20 Indonesia di Bali, Kamis (22/9).
Salah satu isu prioritas pada presidensi G20 Indonesia adalah Sustainable and Inclusive Industrialisation Via Industry 4.0 yang menunjukkan peran industri 4.0 dalam mendorong terjadinya transformasi digital dan terwujudnya implementasi industri hijau untuk mencapai industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan.
Menurut Menperin, G20 tahun ini menjadi momen bersejarah bagi Indonesia, karena untuk pertama kalinya dalam sejarah G20, isu industri dibahas secara lebih komprehensif dalam satu kesatuan pada Trade, Investment, and Industry Working Group (TIIWG) di bawah Presidensi G20 Indonesia.
“Jadi, semua berkesempatan untuk berkumpul dan saling berbagi pandangan. Tidak hanya membahas isu-isu terkait dengan perdagangan dan investasi, tetapi juga bersama-sama membahas isu industri,” tuturnya.
Menperin mengemukakan, forum G20 lahir sebagai respons terhadap krisis ekonomi global pada tahun 19971998, yang mendesak pemerintah untuk menemukan solusi bersama agar dunia dapat keluar dari krisis yang berkepanjangan dan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan.
Ketika dilanda krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19, pembatasan sosial telah mengakibatkan penurunan atas permintaan barang dan jasa, mendisrupsi rantai pasok global, dan mengakibatkan resesi secara keseluruhan.
“Tidak seperti krisis-krisis dunia sebelumnya, kali ini kita mengenal sebuah istilah yang disebut dengan konektivitas digital, yang kemudian mengakselerasi digitalisasi di berbagai aktivitas ekonomi,” ungkapnya.
Karakteristik dari digitalisasi yang contactless kini menjadi semakin relevan, khususnya pada saat pandemi. Karakteristik yang dibawa oleh era revolusi industri 4.0 ini memungkinkan sektor industri untuk terus beroperasi dari jarak jauh meskipun dalam periode lockdown.
“Hal ini membuat industri yang maju secara digital akan lebih mampu menghadapi dampak pandemi dan menyesuaikan dengan normalitas baru,” imbuhnya.
Dengan adanya tantangan itu, perlu sebuah kebijakan yang lebih strategis untuk merekonstruksi kapasitas produksi yang dapat beradaptasi dengan perubahan struktural tersebut. Termasuk dengan memastikan terciptanya lingkungan kebijakan yang kondusif bagi industri manufaktur, salah satunya melalui dukungan kebijakan perdagangan dan investasi yang terbuka dan tanpa hambatan.
“Sehingga ke depan, kita dapat percaya diri menghadapi peristiwa tak terduga di masa mendatang, dan tentunya tanpa melupakan mereka yang paling rentan terkena dampak krisis, dan memastikan tidak ada satu pun negara yang tertinggal, no one left behind,” ujar Agus.