Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membuka peluang memperluas insentif Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) senilai USD 6 per MMBTU. Hal ini guna menarik investasi masuk ke Indonesia.
Sebelumnya, Pemerintah telah memberlakukan harga gas untuk industri sebesar USD 6 per MMBTU sesuai dengan implementasi Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Adapun, regulasi turunan dari PP 40/2016 tersebut, yakni Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rekomendasi Pengguna Gas Bumi Tertentu serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 8 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Sektor industri yang mendapatkan harga gas bumi tertentu (USD 6 per MMBTU) sebanyak tujuh sektor, yaitu industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Namun, berdasarkan catatan Kementerian ESDM, pemanfaatan HGBT di 7 industri tersebut masih di bawah 85 persen.
Menteri ESDM, Arifin Tasrif menyebut bahwa dengan kondisi tersebut, pemerintah akan mengoptimalkan pemanfaatan harga gas industri tersebut dengan memperluas sektor industri.
“Masih ada permintaan industri lain untuk bisa mendapatkan itu, tapi menurut catatan kita dari alokasi untuk 7 industri ini yang memanfaatkannya ini 85 persen, belum optimal. Jadi dari seluruh volume yang dialokasikan ini yang akan kita optimalkan dulu,” ujar Arifin.
“Ya mungkin kita extend ke industri sejenis yang belum bisa mendapatkan sehingga bisa mentok tuh alokasinya yang 100 persen,” terangnya.
Langkah pemerintah untuk memperluas insentif HGBT tersebut disambut baik oleh industri pengguna gas bumi.
“Kami sangat mengapresiasi langkah pemerintah yang membuka peluang untuk memperluas insentif HGBT untuk sektor industri,” kata Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Yustinus Gunawan di Jakarta (7/8).
Menurutnya, perluasan insentif HGBT untuk sektor industri ‘mutlak’ dilakukan untuk menarik investasi masuk ke Indonesia.
“Contohnya Malaysia yang menetapkan HGBT jauh lebih murah dari Indonesia. Mereka (Malaysia) pernah sukses menarik investasi industri kaca dari Tiongkok, sehingga total kapasitas produksinya menjadi jauh mengungguli Indonesia dan menjadi terbesar di ASEAN,” terangnya.
Yustinus optimis Indonesia dapat menarik sejumlah investasi, karena pemerintah bertekad melaksanakan Perpres 40/2020 dan Kepmen ESDM Nomor 89.K/2020 yang terbukti menjadi ‘infus’ untuk sektor industri ketika terdampak pandemi Covid-19.
“Namun yang sangat disayangkan ada informasi dari pemasok gas bumi bahwa harga gas diluar alokasi gas industri tertentu akan dinaikkan per 1 Oktober 2023,” jelas Yustinus.
Dirinya menyebut bahwa pasokan volume gas sesuai Kepmen ESDM 89.K/2020 dengan skema HGBT selalu kurang dari alokasi Kepmen tersebut.
Padahal, lanjutnya, kemampuan alokasi tersebut pastinya sudah dikoordinasikan dengan semua pemasok di sektor hulu yang juga tentunya sudah mempertimbangkan perawatan berkala maupun antisipasi gangguan tidak terduga berdasarkan pengalaman dan mempetimbangkan kemunduran volume produksi seiring usia sumur.
“Namun, Indonesia akan surplus gas dalam sepuluh tahun ke depan krn kemampuan produksi dari sumur-sumur baru,” kata Yustinus.
Oleh karena itu, terang Yustinus, perluasan penerima manfaat HGBT yang sedang digodok oleh pemerintah merupakan langkah yang sangat tepat, diiringi komitmen dalam pelaksanaan volume seperti tercantum dalam regulasi pelaksanaannya.
“Ini memberi kepastian agar investor merealisasikan rencana investasi dan menarik investasi baru, sehingga industri-industri lain mampu mendukung manfaat luas dari hilirisasi industri, kesemuanya menyerap tenaga kerja sangat banyak dan menampung bonus demografi,” tandasnya.