Jakarta – Pengembangan koperasi di Indonesia menjadi bagian dari cita-cita untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga dalam perjalanannya diperlukan payung hukum berupa regulasi yang komprehensif, holistik, dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM (KemenKopUKM) Ahmad Zabadi menilai, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah tidak relevan dan tidak cukup memadai untuk digunakan sebagai payung hukum pengembangan koperasi di Indonesia.
Terlebih, katanya, koperasi sedang dihadapkan pada perkembangan tata ekonomi nasional dan global yang semakin dinamis dan penuh tantangan digital.
“Pemerintah Indonesia perlu memperbaharui regulasi terkait koperasi, agar semakin relevan dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi di kalangan masyarakat. Regulasi ini lewat penetapan landasan hukum baru berupa Undang-Undang. Kita butuh solusi terkini dalam mengatur perkoperasian karena munculnya permasalahan hukum baru yang semakin kompleks,” ungkap Deputi Bidang Perkoperasian KemenKopUKM Ahmad Zabadi, dalam keterangan resminya, di Jakarta, Rabu (11/10).
Saat ini, kata Zabadi, kemudahan perizinan usaha koperasi justru disalahgunakan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, khususnya koperasi simpan pinjam sehingga tumbuh perusahaan yang menamakan dirinya koperasi, yang sejatinya bukan koperasi.
“Padahal perusahaan itu masuk kategori bank gelap atau rentenir terselubung yang jelas-jelas menyimpang dari jati diri koperasi,” terangnya.
Kondisi ini jelas merusak citra koperasi Indonesia. Hal ini membawa dampak pada penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap profesionalisme dan akuntabilitas pengelolaan koperasi, sehingga perlu segera ditingkatkan dengan mengembangkan sistem tata kelola koperasi yang baik.
“Kepercayaan yang turun juga berimbas lain bagi koperasi, gerakannya menjadi terbatas, khususnya dalam mengakses sumber daya produktif, seperti akses pembiayaan usaha dari perbankan dan lembaga keuangan, akses pasar, akses teknologi, akses sumber daya manusia, dan sumber daya produktif lainnya,” jelas Zabadi.
Untuk mengembalikan tingkat kepercayaan, ada 12 hal yang perlu diatur dalam RUU Perkoperasian. Pertama, pemerintah perlu merinci ulang tentang definisi dan nilai prinsip dari koperasi. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian belum mengatur secara lengkap jati diri koperasi, sesuai dengan identitas koperasi secara internasional. Pasalnya, UU Koperasi disahkan lebih dulu, sebelum jati diri koperasi tersebut dirumuskan dan disahkan oleh ICA pada tahun 1995 di Manchester.
Kedua, pemerintah perlu mengatur dengan tegas pembentukan, pendirian, dan anggaran dasar koperasi.
“Ada beberapa hal yang perlu ditambahkan, di antaranya terkait penamaan sehingga tidak terjadi penyalahgunaan nama koperasi yang merugikan masyarakat,” tegas dia.
Selain itu, lanjut Zabadi, perlu pengaturan yang lebih spesifik terkait pendirian, perubahan anggaran dasar, termasuk di dalamnya koperasi yang telah dicabut izin usahanya atau dalam pengawasan khusus.
Pemerintah perlu mengatur praktik usaha koperasi dengan basis anggota yang beragam yang telah berhasil dijalankan di negara lain, sehingga dapat memperkaya dan menjangkau seluruh kegiatan ekonomi masyarakat sesuai dengan semangat koperasi di Indonesia.
Ketiga, keanggotaan koperasi. Regulasi lama belum mengatur dan memberikan perlindungan secara memadai kepada hak anggota, hak koperasi sebagai badan hukum, dan hak pihak ketiga, serta hak masyarakat.
Keempat, perangkat organisasi, salah satunya belum mengatur dengan jelas tentang tugas, wewenang dan tanggung jawab pengurus, pengawas dan pengelola koperasi.
Kelima, belum jelas dan tegasnya terminologi modal dan utang, serta belum jelasnya tentang struktur permodalan dan ketentuan terkait jumlah modal dasar dan modal pendirian koperasi. Regulasi yang ada belum mengatur secara tegas batasan modal minimal usaha simpan pinjam untuk kelangsungan usaha.
Keenam, usaha koperasi. Saat ini, kegiatan usaha koperasi dibatasi berdasarkan jenisnya, sehingga memasung kreativitas koperasi dan mengancam fleksibilitas usaha koperasi, serta menghambat pengembangan usaha koperasi untuk menentukan sendiri bidang usahanya.
Koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia, kata Zabadi perlu diberikan kesempatan dan ruang berusaha yang seluas-luasnya di berbagai sektor usaha, sesuai kompetensi usahanya.
Selain itu, pemerintah juga perlu mengatur tentang koperasi sekunder dan Apex koperasi, serta model koperasi multi pihak untuk memenuhi kebutuhan anggota, inovasi bisnis, dan tanggap terhadap perekonomian global.
Ketujuh, perlindungan anggota dan koperasi belum diatur secara memadai. Sehingga dalam praktiknya sering terjadi penyalahgunaan perizinan usaha koperasi simpan pinjam dan penyalahgunaan pemberian pinjaman oleh usaha simpan pinjam koperasi kepada calon anggota atau non anggota.
“Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dan anggota koperasi, menurut Zabadi perlu diatur keberadaan lembaga pengawas independen untuk mengatur tata kelola dan pengawasan usaha simpan pinjam koperasi. Pengaturan tentang pelindungan terhadap simpanan anggota, dan pengaturan tentang kebijakan penyehatan koperasi untuk mengembangkan industri usaha simpan pinjam yang kredibel dan sehat,” jelas Zabadi.
Kedelapan, pengaturan tentang selisih hasil usaha koperasi. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUUXI/2013 tentang Selisih Hasil Usaha, dinilai terdapat ketidakadilan terkait dengan hak dan kewajiban anggota, di mana ketika koperasi mengalami surplus hasil usaha, anggota tidak berhak atas surplus yang berasal dari transaksi dengan non anggota.
Ia menjelaskan, ketika koperasi mengalami defisit hasil usaha baik disebabkan oleh transaksi dengan anggota atau non anggota, anggota wajib menyetor modal koperasi sebagai tambahan modal.
Kesembilan, pengaturan tentang restrukturisasi koperasi. “Sesuai dengan aturan yang ada, proses penyehatan Koperasi melalui restrukturisasi yang dilakukan secara mandiri oleh koperasi dilaksanakan tanpa garis panduan undang-undang yang jelas disebabkan ketiadaan regulasi. Oleh karena itu, ditemukan praktik di lapangan tentang adanya kegiatan penggabungan koperasi yang berbeda–beda sehingga merugikan anggota,” papar Zabadi.
Kesepuluh, pengaturan tentang kepailitan, pembubaran, dan penyelesaian. Regulasi yang berlaku tidak mengatur tentang kepailitan dan PKPU. Ironisnya, pemerintah juga tidak bisa mencegah kepailitan koperasi.
“Proses penyelesaian melalui jalur pengadilan tidak sejalan dengan keberadaan koperasi, terlebih dapat menimbulkan masalah lain, khususnya kepailitan yang menyebabkan terjadinya pembubaran koperasi,” jelas Zabadi.
Kesebelas, perlunya mendorong tumbuhnya ekosistem koperasi karena saat ini, koperasi di Indonesia tidak memiliki banyak instrumen pendukung sebagai ekosistem pengembangan usahanya, sehingga tidak dapat bersaing dengan pelaku usaha lain.
Terakhir keduabelas, ketentuan pidana. Ketiadaan pengaturan tentang ketentuan pidana tentu tidak memberikan rasa keadilan kepada anggota dan masyarakat yang dirugikan oleh koperasi. Keterbatasan tersebut sekaligus tidak memberikan perlindungan hukum kepada usaha koperasi di Indonesia.
“Terulangnya kasus kejahatan yang menyalahgunakan nama ataupun wewenang sebagai pengurus koperasi yang merugikan anggota, dan dapat terbebas dari sanksi hukum menjadi alasan perlu diaturnya ketentuan pidana dalam Undang-Undang Perkoperasian saat ini,” tutup Zabadi.