Jakarta – Industri pengguna gas bumi mengecam kebijakan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) yang membatasi pemakaian gas bagi sejumlah industri.
Berdasarkan surat edaran dari PGN yang diterima industri pada Bulan Februari 2024 menyebutkan bahwa sehubungan dengan terjadi kondisi urbulence penyaluran gas pada Maret 2024 akibat adanya natural decline pada sumber pasokan, sebagai upaya pengamanan penyaluran gas, maka PGN akan menerapkan optimasi dan pengendalian penyaluran gas yang akan berlangsung sejak tanggal 4 – 31 Maret 2024.
Berdasarkan isi surat edaran tersebut, PGN membatasi kuota pemakaian gas bumi sebesar 61% dari pemakaian maksimum per bulan kontrak.
Selain itu, apabila terdapat pemakaian gas melebihi pemakaian maksimum kuota kontrak harian berlaku ketentuan ‘Over Usage Penalty’ harian.
Disisi lain, dalam surat edaran tersebut, PGN meminta pelanggan yang menggunakan sistem ‘dual fuel’ untuk mempersiapkan bahan bakar lainnya sebagai energi pengganti.
Ketua Asosiasi Produsen Gelas Kaca Indonesia (APGI), Henry Susanto mengatakan, pembatasan pasokan gas ini sangat memberatkan industri gelas kaca nasional.
“Pembatasan pasokan gas ini sangat memberatkan. Kami di industri bingung dengan PGN, bisa terapkan kuota seenaknya sendiri,” kata Henry.
APGI mempertanyakan sikap pemerintah yang seolah-olah membiarkan saja kondisi ini ‘kerap’ terjadi.
“Pemerintah diam saja. Kuota gas diputuskan melalui Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM, tetapi PGN bisa rubah seenaknya. Buat peraturan tidak jelas. Kami mau hitung biaya produksi jadi bingung,” katanya.
Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Yustinus Gunawan menyebut bahwa kondisi tersebut justru akan membuat penurunan pada sektor industri.
“Pembatasan pemakaian gas justru akan membuat deindustrialisasi. Ini harus dicegah dengan alokasi gas industri tertentu (AGIT) 100%,” terang Yustinus.
Menurutnya, deindustrialisasi pernah terjadi ketika harga gas bumi merangkak naik tinggi sekitar 10 tahun lalu, dan re-industrialisasi dimulai ketika Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) diterapkan pada tahun 2020.
“Re-industrialisasi tercermin dari Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia yang melebihi 50 atau berada di jalur ekspansif secara berurutan 30 bulan atau sejak September 2021,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), Edy Suyanto mengungkapkan bahwa pembatasan kuota gas oleh PGN membuat industri keramik nasional dengan sangat terpaksa mengurangi kapasitas produksi.
“Untuk wilayah Jawa bagian Barat pembatasan pemakaian gas hanya sebesar 65%, sedangkan di Jawa bagian Timur 75%, dan pemakaian gas di atas AGIT akan dikenakan harga gas yang sangat mahal yaitu USD 15 per MMBTU,” terang Edy.
“Dengan tingginya harga surcharge gas tersebut membuat produk keramik menjadi tidak berdaya saing,” tambahnya.
Asaki bersama FIPGB telah berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 4 Maret 2024 lalu perihal gangguan supply gas dari PGN dan memohon keberlanjutan untuk kebijakan HGBT.
“Gangguan supply gas tersebut harus segera ditangani secara serius oleh pemerintah, karena apabila berlarut-larut maka daya saing industri semakin menurun, dan dengan batas AGIT hanya 61% memaksa industri harus mematikan klin (tungku) pembakar keramik yang dapat ber-impact pada karyawan mulai dirumahkan,” tutup Edy.