Jakarta – Industri Kecil Menengah (IKM) garment yang biasa disebut konveksi menolak dikorbankan demi ekspor CPO dalam rangka Indonesia Bangladesh Preferential Tarif Agreement (IB-PTA).
Pernyataan ini disampaikan oleh Nandi Herdiaman selaku Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) dan Roedy Irawan, Ketua Umum Perkumpulan Pengusaha Pakaian dan Perlengkapan Bayi (P4B).
Dikatakan Nandi, pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) baru saja menikmati pasar dalam negeri setelah sejumlah kebijakan pasar domestik diberlakukan terutama safeguard.
“Saat ini masih terjadi peningkatan order dan kita masih berusaha untuk memenuhi semuanya meski menghadapi kesulitan tenaga kerja” ujar Nandi dalam diskusi virtual, Selasa (8/3)/2022)
“Jadi saat ini kami terus mencari tenaga kerja untuk mengejar target produksi” tambahnya.
Kemudian Nandi menyatakan bahwa pihaknya khawatir adanya IB-PTA ini dapat merusak kembali pasar domestik IKM garmen. Terlebih kondisi IKM konveksi sekarang masih belum pulih pasca pembatasan mobilitas masyarakat akibat Covid-19.
“Kalau impor garmen masuk lagi, tentu ini jadi berat buat IKM. Masyarakat akan lebih memilih produk impor yang murah dibandingkan produk IKM. Bisa-bisa tutup satu per satu lagi seperti di awal pandemi yang lalu,” ucapnya.
Berbeda dengan IPKB, kondisi di sektor pakaian bayi saat ini belum pulih dan masih minim order karena masih banyaknya barang-barang impor yang beredar baik secara online maupun offline.
“Barang-barang impor pakaian bayi masuk lewat Impor Borongan dan dipasarkan hingga ke pelosok-pelosok. Dan jika IB-PTA diberlakukan, maka kondisinya akan lebih buruk lagi bagi produsen pakaian bayi,” kata Ketua Umum P4B Roedy Irawan.
P4B juga menolak jika impor pakaian bayi dari Bangladesh dibuka demi ekpsor CPO Indonesia. P4B menyatakan bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat besar untuk garment dimana produsen lokal sehingga Bangladesh sangat ingin masuk ke Indonesia.
“Tapi produsen pakaian jadi di Indonesia kan sebagian besar IKM, jadi jangan kami dikorbankan demi ekspor CPO” pungkasnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), David Leonardi menyampaikan bahwa secara komparatif, biaya produksi di Bangladesh jauh lebih kompetitif baik dari upah dan aturan tenaga kerja, biaya energi dan logistik serta letaknya yang strategis.
“Ekspor garment Bangladesh 6 kali lipat dibanding ekspor garment Indonesia, jadi kita bisa lihat bagaimana kuatnya industri garment mereka, jadi kami menolak IB-PTA ini, kita harus benahi dulu dayasaing didalam negeri kita dulu” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan bahwa pengaruh IB-PTA ini jika diterapkan akan mempengaruhi seluruh rantai nilai tekstil dari hilir ke hulu karena pakaian jadi adalah ujung tombak rantai nilai tekstil.
“Pemerintah akan kehilangan banyak pemasukan dari PPN dan PPH jika IB-PTA ini diterapkan, bahkan lebih buruk akan menggulung industri intermediet dan hulu nya sehingga kami tidak akan lagi mampu berkontribusi untuk BPJS dan mengkonsumsi listrik” tandasnya.