Jakarta – Industri kimia merupakan salah satu sektor penting yang menentukan kinerja sektor industri serta mendorong kinerja perekonomian. Dari tingkat hulu, industri kimia berperan sebagai pemasok utama bahan baku pada industri intermediate dan hilir.
Hal ini membuat dunia terus berupaya untuk meningkatkan kesadaran pengelolaan bahan kimia yang baik dan benar. Salah satunya melalui pembentukan konvensi-konvensi terkait penggunaan bahan kimia, termasuk Konvensi Senjata Kimia (KSK).
KSK merupakan salah satu konvensi yang sangat berkaitan erat dengan aktivitas industri di seluruh belahan bumi. Konvensi ini melarang dan membatasi penggunaan bahan-bahan kimia tertentu yang rawan disalahgunakan menjadi senjata kimia hingga senjata pemusnah massal.
“Bahan kimia merupakan dual use item, yang selain bermanfaat juga dapat disalahgunakan. Selain itu, pengelolaan bahan kimia yang tidak tepat juga mengakibatkan meningkatnya potensi insiden keadaan darurat bahan kimia,” ujar Menteri Perindustrian dalam sambutannya melalui video pada Sarasehan Otoritas Nasional Senjata Kimia di Jakarta, Senin (21/12).
Indonesia telah meratifikasi KSK pada 30 September 1998 melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1998 dan mengimplementasikannya secara domestik melalui penerbitan Undang-Undang No. 9 Tahun 2008 tentang Penggunaan Bahan Kimia & Larangan Penggunaan Bahan Kimia sebagai Senjata Kimia.
“Regulasi tersebut sangat esensial untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi legitimasi industri kimia dalam memanfaatkan berbagai jenis bahan kimia yang masuk dalam daftar KSK,” jelas Menperin.
UU No. 9 Tahun 2008 juga menjadi dasar utama pemerintah membentuk lembaga ex-officio Otoritas Nasional Senjata Kimia (OTNAS). OTNAS yang dikukuhkan dengan penerbitan Peraturan Presiden No.19/2017 berperan sebagai pengemban amanat penerapan KSK di Indonesia.
“Dengan peraturan ini, Indonesia memiliki kerangka hukum serta modalitas yang kuat untuk lebih aktif dalam penegakan KSK yang turut mewujudkan perdamaian dunia,” ujar Agus.
Penanganan dan pengelolaan bahan kimia di tanah air merupakan sebuah tanggung jawab yang besar dan memerlukan keterlibatan lintas sektor pemerintahan. Hal ini tidak berlebihan, mengingat nilai perdagangan internasional bahan kimia tercatat sangat tinggi mencapai lebih dari US$ 30 miliar dengan ekspor sebesar 12,49 miliar dan impor sebesar US$ 18,25 miliar.
“Meski kita masih dalam kondisi perekonomian yang belum stabil sebagai dampak dari wabah covid-19, kita patut bersyukur karena pertumbuhan ekonomi nasional telah mengalami peningkatan sebesar 3,51% pada triwulan III Tahun 2021,” kata Menperin.
Menurutnya, keberadaan OTNAS perlu terus mendapat dukungan dari seluruh anggota dan pelaku industri, serta masyarakat umum.
“Besarnya muatan isu bahan kimia di sektor industri selayaknya membuat kita semakin sadar tentang arti pentingnya pengelolaan bahan kimia,” pungkas Menperin.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tesktil (Dirjen IKFT) Kemenperin Muhammad Khayam menyampaikan, Indonesia resmi menjadi Negara Pihak dengan meratifikasi KSK pada 1998. KSK memuat sistem deklarasi dan sistem verifikasi yang wajib dilaksanakan oleh Indonesia sebagai Negara Pihak dalam berbagai sektor, termasuk sektor industri, khususnya industri kimia.
Dengan dibentuknya OTNAS, lembaga tersebut berfungsi melakukan pemantauan terhadap bahan kimia berbahaya di setiap simpul daur hidupnya.
“Selain itu OTNAS juga mempunyai tugas untuk melakukan verifikasi dan pengawasan terhadap fasilitas industri yang terkait dengan bahan kimia berbahaya,” jelasnya.
Dalam sarasehan tersebut, Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda selaku Wakil Tetap RI untuk Organization for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW), Mayerfas hadir sebagai salah satu panelis utama.
Ia menjelaskan posisi dasar Indonesia yang senantiasa mendukung dan mendorong penggunaan bahan kimia secara damai, mengutuk penggunaan senjata kimia oleh siapapun, di manapun, dan cara apapun.
“Sebagai negara Pihak Konvensi, Indonesia senantiasa berkomitmen untuk tidak memiliki maupun mengembangkan senjata kimia,” ujar Mayerfas.
Menurutnya, platform kerja sama internasional OPCW dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kapasitas SDM Indonesia di berbagai bidang penguatan sektor industri Indonesia.