Yogyakarta – Tradisi memakai batik harus terus digalakkan sebagai wujud penghormatan terhadap kearifan lokal, kecintaan terhadap produk dalam negeri, sekaligus keberpihakan terhadap para pelaku industri kecil.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus melakukan berbagai kegiatan pendidikan, pengembangan desain, serta promosi untuk mendukung pertumbuhan dan regenerasi industri batik di Indonesia sehingga memiliki daya saing global dan makin menguasai pasar.
“Dalam berbagai kesempatan berkunjung ke berbagai daerah, oleh-oleh yang saya cari adalah kain batik lokal. Saya pun memiliki baju-baju batik dengan beragam jenis, misalnya batik Pekalongan, Yogyakarta, Solo, Lasem, Cirebon, atau Tasik. Terakhir, pada kunjungan ke Papua, saya juga menyempatkan diri mencari batik,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita pada acara Puncak Peringatan Hari Batik Nasional 2021 di Yogyakarta, Rabu (6/10).
Menperin berpesan kepada masyarakat untuk have fun atau menikmati menggunakan batik karena batik memiliki nilai seni tinggi, sehingga sangat fashionable untuk digunakan dalam berbagai acara atau kegiatan baik resmi maupun kasual.
“Harus dicamkan kalau memakai batik itu asyik, memakai batik itu keren. Sehingga ada makna dan manfaat besar dalam kebiasaan menggunakan batik, baik dari aspek fashion, aspek sosial budaya, maupun aspek ekonomi,” jelas Menperin.
Menurutnya, untuk menjadi market leader produk batik, banyak agenda yang bisa dilakukan, salah satunya melalui promosi. Dengan kerja sama intensif seluruh stakeholders, seperti KADIN Indonesia, Dekranas, Yayasan Batik Indonesia, dan para pelaku usaha, kita bisa mengeksplorasi promosi batik di kota-kota pusat mode dunia, seperti New York, Paris, dan London,
Pasalnya, batik Indonesia merupakan warisan budaya tak benda atau Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity yang telah diakui UNESCO pada 2021. Namun demikian, beberapa negara seperti Tiongkok, Vietnam, dan Malaysia secara serius menjadikan batik sebagai komoditas ekspor.
“Mereka terus mengembangkan mesin batik printing yang semakin canggih, termasuk meniru desain dan corak batik Indonesia, dengan tujuan merebut pasar-pasar yang selama ini diisi oleh batik Indonesia, bahkan pasar di dalam negeri kita,” terang Agus.
Selain tantangan produk impor, industri batik juga mengalami kekurangan SDM terampil yang memiliki kemampuan desain, karena kebanyakan pembatik telah berusia lanjut. Padahal, SDM yang mampu mengembangkan kemampuan desain sangat penting bagi industri batik.
“Perlu ada upaya serius untuk mempercepat proses regenerasi seni batik tulis. Misalnya dengan menumbuhkan minat dan keterampilan generasi muda untuk terjun ke industri batik,” jelas Menperin.
Industri batik merupakan salah satu sektor yang selama ini memberikan kontribusi signfikan bagi perekonomian nasional, termasuk yang banyak membuka lapangan kerja. Sektor ini didominasi oleh industri kecil dan menengah (IKM) ini telah menyerap tenaga kerja sebanyak 200 ribu orang dari 47 ribu unit usaha yang tersebar di 101 sentra wilayah Indonesia.
Menurut Menperin, industri batik mendapat prioritas pengembangan karena dinilai mempunyai daya ungkit besar dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
“Industri batik kita mampu memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dan produknya telah diminati pasar global,” ungkapnya.
Kementerian Perindustrian mencatat, capaian ekspor batik pada tahun 2020 mencapai USD532,7 juta, dan selama periode triwulan I tahun 2021 mampu menembus USD157,8 juta.
“Kami meyakini, bahwa kelestarian batik sebagai budaya, bahkan sebagai identitas bangsa Indonesia, berhubungan sangat erat dengan kehadiran industri batik itu sendiri. Industri batik dalam negeri semakin berdaya saing dan mampu menghasilkan batik-batik yang diminati pasar, dengan harga yang terjangkau di setiap tingkatan pangsa pasar, serta dengan profit yang baik untuk pelaku usahanya,” papar Menperin.