Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus untuk menjalankan kebijakan nasional hilirisasi industri kelapa sawit di dalam negeri guna menciptakan dampak positif yang luas bagi perekonomian nasional.
Hilirisasi industri sektor ini dimaknai sebagai upaya strategis meningkatkan nilai tambah komoditas kelapa sawit melalui proses pengolahan agar menjadi produk turunan yang memiliki nilai jual lebih tinggi.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika menyampaikan, beberapa keuntungan yang telah didapatkan dari program hilirisasi industri kelapa sawit, antara lain optimalisasi penyerapan hasil produksi petani rakyat (smallholder), penyediaan bahan pangan, nonpangan, dan bahan bakar terbarukan, hingga membangkitkan ekonomi produktif berbasis industri pengolahan.
“Selain itu, meningkatkan perolehan devisa negara dari ekspor produk hilir, berkontribusi pada keuangan negara melalui penerimaan pajak dan bukan pajak, serta menyuplai kebutuhan dunia terhadap pangan dan energi (feeding and energizing the world),” ungkapnya di Jakarta, Senin (14/8).
Putu juga menegaskan, Kemenperin menerapkan bauran kebijakan (policy mix) secara konsisten dalam menjalankan program hilirisasi industri kelapa sawit. Hal ini didasari melalui Peraturan Pemerintah Nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional 2015-2035 dan beberapa peraturan tentang Kebijakan Industri Nasional.
“Peta jalan pengembangan industri hilir kelapa sawit diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 111/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan Pengembangan Klaster Industri Hilir Kelapa Sawit, yang menjadi prakarsa penentuan prioritas pengembangan industri hilir kelapa sawit,” paparnya.
Terdapat dua kebijakan utama dalam mempercepat pertumbuhan populasi industri hilir kelapa sawit, yaitu kebijakan fiskal tarif bea keluar progresif sesuai rantai nilai industri, serta insentif perpajakan bagi investasi baru atau perluasan sektor industri oleofood, oleochemical, dan biofuel.
“Kedua kebijakan ini sangat efektif dalam mendorong hilirisasi industri kelapa sawit,” imbuhnya.
Putu menerangkan, dalam sejarahnya, hilirisasi industri kelapa sawit konsisten dijalankan sejak tahun 2007. Pada saat itu ekspor minyak sawit mentah atau Crude palm Oil (CPO) sekitar 60 persen dari total ekspor kelapa sawit nasional. Padahal, CPO digunakan sebagai bahan baku industri pangan, non pangan dan biofuel di negara tujuan ekspor sehingga nilai tambahnya kurang dinikmati oleh domestik.
“Melalui kebijakan bea keluar yang berorientasi pro-industri, pertumbuhan kapasitas produksi industri minyak goreng, oleofood, oleokimia, dan biodiesel meningkat secara signifikan,” tutur Putu.
Pada tahun 2010, kapasitas pabrik pengolahan CPO (refinery) hanya sekitar 25 juta ton. Namun, melalui kebijakan hilirisasi, kapasitas refinery meningkat tiga kali lipat menjadi 75 juta ton pada tahun 2022.
Sementara itu, kapasitas terpasang pabrik biodiesel saat ini telah mencapai 17,5 juta ton per tahun, kemudian kapasitas terpasang industri oleofood mencapai 2,7 juta ton per tahun, dan kapasitas terpasang industri oleokimia mencapai 11,6 juta ton per tahun.
“Pencapaian gemilang ini merupakan hasil konsistensi kebijakan hilirisasi industri kelapa sawit dalam periode yang panjang,” tandas Putu.
Menganalisis data Badan Kebijakan Fiskal tahun 2019 dan 2022, Kemenperin mencatat industri kelapa sawit berkontribusi sebesar 3,5 persen terhadap PDB nasional. Hingga saat ini, industri kelapa sawit dari sektor hulu sampai hillir mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 5,2 juta orang dan menghidupi lebih dari 21 juta jiwa.
Dalam aspek kuantitatif, ekspor produk industri kelapa sawit mencapai total volume 282 juta MT dengan total nilai USD176,84 miliar selama periode tahun 2015-2022. Dari kinerja ekspor tersebut, negara melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menerima pendapatan pungutan ekspor sebesar Rp182 triliun.
Dana tersebut telah digunakan sekitar Rp152 triliun untuk menjaga keberlanjutan kelapa sawit nasional melalui program peremajaan sawit rakyat, peningkatan kualitas SDM, riset dan pengembangan sawit, advokasi dan kampanye positif sawit, serta peningkatan sarana dan prasarana termasuk insentif mandatory biodiesel.
Putu menambahkan, program hilirisasi industri kelapa sawit mempunyai indikator pencapaian berupa komposisi ekspor antara bahan baku dan produk olahan.
Pada tahun 2015, komposisi ekspor minyak sawit meliputi 18% CPO dan 6% CPKO, yang keduanya merupakan bahan baku industri, dan sisanya 61% produk refinery serta 15% produk lainnya.
Pada tahun 2022 komposisi ekspor bahan baku mengalami penurunan menjadi 2% CPO dan 4% CPKO, karena ekspor produk hilir mengalami peningkatan signifikan, yang meliputi 73% produk refinery dan 21% produk lainnya.
Pada akhir tahun 2007, jumlah atau ragam jenis produk hilir turunan kelapa sawit dan minyak sawit yang dihasilkan di Indonesia hanya sekitar 54 jenis, dan kini sudah berkembang menjadi 179 jenis yang antara lain meliputi produk oleofood dan oleochemical.
“Hilirisasi industri kelapa sawit juga telah mendukung pelaksanaan program mandatory biodiesel sejak tahun 2015, mulai dari B15, B20, B30 dan saat ini B35 pada tahun 2023. Ke depan, indonesia akan menerapkan B40, B50 hingga B100; dengan komposisi Biodiesel FAME dan Greenfuel, yang merupakan produk hilir tingkat lanjut dari minyak sawit untuk bahan bakar terbarukan,” pungkas Putu.