Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) serius mengakselerasi target Net Zero Emissions (NZE) pada tahun 2050, khususnya di sektor industri. Sasaran dekarbonisasi ini lebih cepat 10 tahun dari yang telah ditetapkan secara nasional pada tahun 2060 untuk mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca (GRK).
Oleh karena itu, Kemenperin proaktif melakukan penyempurnaan strategi atau rencana aksi agar bisa terwujud.
“Kami menyelenggarakan rapat kerja untuk melihat kendala-kendalanya, dan kami mencari solusinya. Dukungan dari pelaku industri mutlak diperlukan dalam upaya menuju dekarbonisasi,” kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita seusai Raker Kemenperin tersebut di Jakarta, Rabu (11/10).
Dekarbonisasi industri adalah proses pengurangan emisi karbondioksida yang dihasilkan oleh sektor industri. Langkah ini dilakukan melalui teknologi, efisiensi energi, dan perubahan cara kerja.
“Saya minta teman-teman industri untuk melihat penggunaan teknologi ini bukan sebagai beban atau cost, tetapi justru sebagai investasi jangka panjang yang akan bisa memberikan manfaat bagi perusahaan serta melindungi keberlanjutan lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat,” paparnya.
Selanjutnya, Menperin menegaskan perlunya keterlibatan stakeholders dari sektor finance untuk membantu pendanaan dalam penggunaan peralatan atau teknologi yang mutakhir di sektor industri.
“Pelaku industri membutuhkan investasi dalam pemanfaatan teknologi canggih untuk bisa mendukung target NZE tahun 2050. Melalui teknologi ini, perusahaan akan melakukan efisiensi dalam penggunaan energi pada proses produksinya. Jadi, artinya semua proses produksinya dilakukan secara digital, yang sejalan dengan program Making Indonesia 4.0,” tuturnya.
Agus mengemukakan, kontribusi karbon yang berasal dari sektor industri sekitar 15-20% dari total emisi GRK nasional. Sementara jika dilihat dari sumber emisi sektor industri tersebut, komponen emisi dari kategori penggunaan energi di industri menyumbang 60%, emisi dari limbah industri 25%, dan proses produksi dan penggunaan produk atau Industrial Process and Product Use (IPPU) sebesar 15%.
“Kalau untuk limbah dan IPPU ini menjadi komitmen kami. Saya sudah memberikan arahan, untuk bisa melakukan percepatan pengurangan. Tetapi kalau yang dari penggunaan energi, itu perlu ada koordinasi dengan kementerian dan lembaga (K/L) terkait, khususnya K/L yang memiliki tugas dalam penyediaan energi untuk nasional,” ungkapnya.
Menperin optimistis, apabila sinergi di antara kementerian dan lembaga berjalan baik, upaya untuk dekarbonisasi dapat meningkatkan kembali daya saing dan produktivitas di sektor industri.
“Sehingga kontribusi sektor industri terhadap PDB nasional bisa kembali mencapai 20%, dan visi kita untuk menjadi negara industri tangguh, inklusif, dan berkelanjutan bisa tercapai,” imbuhnya.
Menperin menyampaikan, dalam hasil kesimpulan raker, saat ini ada delapan subsektor industri, ditambah satu subsektor (8+1), yang masuk kategori prioritas Kemenperin dalam upaya mempercepat dekarbonisasi. Kedelapan subsektor sebelumnya, yakni industri semen, baja, pulp dan kertas, tekstil, keramik, pupuk, petrokimia, serta makanan dan minuman.
“Sektor-sektor ini yang disebut dengan industri lahap energi. Dan, kami menambah satu sektor lagi, yakni industri alat transportasi,” sebutnya.
Agus menegaskan, pihaknya siap menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian dalam mendukung proses dekarbonisasi. Permenperin ini antara lain akan mengatur tentang rencana aksi dan peta jalannya.
“Apalagi, saat ini kami sudah punya 35 standar industri hijau, sehingga sambil menunggu kesiapan industri agar bisa memitigasi,” terangnya.
Agus menambahkan, guna mencapai sasaran akselerasi dalam upaya dekarbonisasi di sektor industri, langkah strategis yang perlu ditempuh di antaranya adalah menyiapkan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) industri dalam pengelolaan GRK.
“Selanjutnya, perlu adanya mekanisme pemberian insentif, misalnya terkait restrukturisasi teknogi, peralatan, dan permesinan, termasuk penyederhanaan untuk perizinan usaha. Perlu juga adanya pelaporan emisi GRK melalui SIINas, dan menyiapkan product category rule,” pungkasnya.