Jakarta – Sejumlah pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) tengah membuka peluang memperluas pasar ekapor.
Hal ini dilakukan akibat tekanan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) rokok elektrik sebesar 15% dan pengenaan pajak 10%.
Sekretaris Jenderal APVI, Garindra Kartasasmita menyebut bahwa penjajakan pasar baru memang sedang dilakukan, khususnya untuk ekspansi ekspor rokok elektrik.
Meski demikian, dirinya mengaku sejauh ini masih fokus menggarap pasar domestik, disamping ekspor ke beberapa negara Asia.
“Dari segi penjualan, ekspor dirasakan menjadi yang cukup penting, karena tidak ada beban cukai untuk ekspor, dan beban cukai di negara lain pun relatif lebih rendah,” katanya.
Hal yang sama juga dikakukan oleh Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo).
Ketua Umum Gaprindo, Benny Wahyudi menyebut bahwa kenaikan cukai rokok 10% sangat membebani industri hasil tembakau (IHT).
Dirinya mengatakan pelaku usaha dalam kondisi ini tidak banyak pilihan strategi yang dapat dilakukan.
Untuk itu, strategi peningkatan ekspor yang masih menjadi pilihan utama, khususnya untuk produsen sigaret putih mesin (SPM).
Adapun, SPM dan sigaret kretek mesin mengalami penurunan produksi yang signifikan lantaran harga yang cukup kompetitif. Sedangkan, sigaret kretek tangan (SKT) akan tetap tumbuh karena harga jual yang masih lebih murah.
“Tidak banyak pilihan strategi yang dapat dilakukan. Strategi peningkatan ekspor masih menjadi pilihan utama produsen SPM,” tuturnya.
Pengusaha berbagai jenis rokok mulai mengandalkan rokok lantaran pertumbuhan ekspor yang cukup tinggi.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), ekspor produk hasil tembakau tumbuh sebesar 17,26% pada akhir 2023.
Optimisme pasar ekspor membuat pengusaha masih memiliki keyakinan untuk tumbuh.