Jakarta – Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) yang merupakan anggota luar biasa Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia menandatangani nota kesepahaman dengan China Chamber of Commerce of Import & Export of Foodstuffs, Native Produce and Animal By-Products (CFNA) atau Kamar Dagang Tiongkok yang memuat kerangka dasar kerja sama antar kedua negara khususnya terkait perdagangan, pertukaran informasi serta dukungan, upaya penyelesaian kendala dan promosi melalui situs jaringan.
Penandatanganan nota kesepahaman yang diinisiasi oleh Kementerian Perdagangan RI bersama Kedutaan Besar RI untuk Tiongkok ini berlangsung di Kantor Kementerian Perdagangan RI di Jakarta, sementara pada saat yang bersamaan pihak Tiongkok juga melakukan penandatanganan di Beijing, Jumat (11/11/2022).
Ketua Umum ARLI, Safari Azis mengungkapkan bahwa Tiongkok merupakan pangsa pasar terbesar yaitu sekitar 70 persen ekspor rumput laut Indonesia baik berupa bahan baku maupun produk olahan.
Namun demikian terkadang masih terdapat kendala yang terkait dengan regulasi atau kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing otoritas kompeten, sehingga dipandang perlu untuk melakukan upaya mediasi melalui Kamar Dagang Tiongkok tersebut.
“Khususnya mengingat rumput laut adalah komoditi Non-Animal Origin atau bukan berasal dari hewan, sehingga diperlukan adanya pengecualian atau pembedaan perlakuan dengan komoditi perikanan lainnya. Disamping itu situasi rumput laut secara global juga membutuhkan sebuah kerjasama dalam bidang penelitian dan pengembangan serta penanganan isu atau kampanye negative terkait rumput laut dan produk olahannya,” papar Safari Azis yang juga merupakan Ketua Komite Tetap KADIN Indonesia Bidang Asosiasi Industri Pertanian, Kehutanan, Peternakan, Perikanan dan Pengolahan Makanan.
Menanggapi tentang maraknya upaya yang dilakukan untuk menarik investasi di sektor komoditi rumput laut, Safari menegaskan bahwa perlu adanya kehati-hatian dalam membuka peluang investasi tersebut agar jangan sampai mematikan pelaku usaha yang sudah ada, juga pemahaman tentang jenis-jenis dan turunannya serta ekosistem hulu-hilir industri rumput laut agar pengembangannya sesuai dengan kebutuhan pasar.
“Sebaiknya peningkatan produksi budidaya rumput laut di sektor hulu dan peningkatan daya saing industri pengolahan di sektor hilir menjadi fokus utama Indonesia saat ini. ARLI telah menyampaikan beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pengambil kebijakan,” kata Safari.
Dikatakan Safari, pihaknya prihatin terhadap adanya sejumlah pabrik pengolahan rumput laut yang dibangun oleh pemerintah namun belum beroperasi hingga saat ini.
Menurutnya, kehadiran investor dengan dukungan modal dan teknologi tentunya diharapkan dapat pula menyelamatkan aset negara.
Kemudian yang saat ini sudah mulai dikembangkan oleh sejumlah investor di beberapa lokasi di Indonesia adalah Company Farming yang menerapkan teknologi budidaya rumput laut mulai dari pembibitan, panen dan paska panen yang diharapkan akan meningkatkan kualitas sekaligus kuantitas produksi rumput laut Indonesia.
Dan yang terakhir alternatif investasi juga dapat dilakukan adalah bekerjasama dengan pabrik pengolahan yang sudah ada melalui alih teknologi, penelitian dan pengembangan, permodalan serta akses pasar yang dapat meningkatkan daya saing di pasar global.
“Perlu juga memberikan prioritas kepada investor yang akan mendirikan pabrik pengolahan rumput laut yang tidak mengolah dari bahan baku rumput laut kering, melainkan produk setengah jadi hasil produksi pabrik pengolahan yang sudah ada. Ini untuk menjaga keberlangsungan dan keseimbangan usaha,” ungkap Safari.
Selain itu, lanjut dia, diharapkan juga adanya industri pengolahan yang mengolah jenis rumput laut selain Eucheuma dan Gracilaria, agar ketersediaan bahan baku untuk memproduksi Hidrokoloid yang saat ini masih terbatas, tidak terganggu.
“Dan tentunya yang masih bisa terus dikembangkan adalah pabrik pengolahan rumput laut untuk menghasilkan pupuk, pakan ternak, sumber energi, bio-plastik dan lain sebagainya,” pungkas Safari.