Jakarta – Kinerja industri mebel dan kerajinan nasional mengalami penurunan ekspor secara signifikan sebesar 28%. Hal tersebut terjadi karena kondisi geoplitik dan inflasi besar di negara tujuan ekspor.
Namun bila dilihat secara mendalam, ada argumentasi lain yang perlu mendapat perhatian seksama. Secara umum yaitu produk yang berasal dari Indonesia dinilai oleh buyers cukup tinggi atau mahal dibanding dari Malaysia, Vietnam dan terutama China.
Sehingga mereka prioritas memilih belanja dari negara tersebut, kecuali untuk produk-produk khas Indonesia yang berbasis kayu solid, eksotis material seperti rotan, craft dan lainnya yang masih merupakan kekuatan yang dipilih para buyer.
Dengan kondisi di atas, khususnya para pakar yang tergabung di dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) dapat memberikan arahan dan strategi yang lebih spesifik agar industri mebel dan kerajinan nasional tetap bisa tumbuh, minimal bisa bertahan meskipun dalam situasi yang tidak kondusif seperti saat ini.
“Target yang kita canangkan bersama pemerintah untuk mencapai angka ekspor USD 5 miliar (gabungan mebel dan kerajinan) hingga akhir 2024 sepertinya harus dikoreksi dengan fakta dan data yang tidak mendukung di lapangan,” kata Ketua Umum HIMKI, Abdul Sobur.
Data ekspor mebel per september 2023 hanya mencapai USD 1,29 miliar, turun dari tahun 2021 yang tercatat USD 1,86 miliar atau turun 30% YoY.
Untuk kerajinan tahun 2023 tercatat USD 513 juta menurun dari tahun lalu yang mencapai USD 647 juta turun 21%.
Total kinerja ekspor gabungan tahun lalu USD 2,5 miliar turun menjadi USD 1,8 miliar tahun 2023, akumulasi turun 28%.
“Dengan basis data tersebut kita bisa prediksi sampai akhir tahun 2023, angka optimis ekspor gabungan mebel dan kerajinan hanya akan mencapai USD 2,5 miliar, menurun akumulasi 22%,” terangnya.
Data tersebut dapat dilihat pula dari laporan yang dirilis Bank Indonesia terlihat penurunan signifikan ada di Provinsi Jatim dan Banten yang basisnya lebih di engineering wood sebagai bahan utama yang digunakan untuk produk mebel.
“Kondisi tersebut telah mengajarkan kita semua, para pelaku industri mebel dan kerajinan yang tergabung dalam HIMKI untuk dapat beradaptasi dengan kondisi ekonomi dan sosial tersebut. Hal ini tidak membuat kami berdiam diri dan berpangku tangan menunggu ketidakpastian, apalagi jika mencermati permintaan terhadap produk mebel dan kerajinan di dunia terus mengalami pertumbuhan,” papar Sobur.
Untuk itu, HIMKI tetap bekerja semaksimal mungkin, dan terus melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan berbagai pihak sehingga industri ini bisa mengalami pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan.
HIMKI terus menyemangati dan memberikan pencerahan kepada seluruh anggota agar mereka tetap optimistis menjalankan usahanya.
“Dengan demikian, ketidakpastian ini bisa kita ubah menjadi sebuah harapan dan kepastian dan kita menjadi pihak yang paling siap dalam menghadapi segala tantangan,” ucap Sobur.
HIMKI tetap optimis dengan masa depan industri ini mengingat Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Indonesia memiliki peluang menjadi produsen mebel dan kerajinan terbesar di kawasan regional dan berpeluang menjadi yang terbesar di dunia, khususnya untuk produk-produk berbasis rotan.
Industri ini merupakan industri yang hampir sempurna karena didukung oleh ketersediaan bahan baku yang berlimpah dan SDM terampil dalam jumlah besar, ditambah lagi dengan adanya sentra-sentra produksi mebel dan kerajinan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selain itu, HIMKI juga optimis dengan masa depan industri, berdasarkan nilai jual unik Indonesia sebagai pemasok pasar furnitur global berakar pada sumber daya alamnya, tenaga kerja terampil, harga kompetitif, keragaman budaya, dan produksi berkelanjutan, sehingga sangat dicari di pasar furnitur global.
Furnitur buatan Indonesia banyak dicari karena presisi dan desainnya yang kreatif, selain karakteristiknya yang berkualitas tinggi dan harga bersaing yang dapat diproduksi dengan teknologi global terkini.
Daya tarik lainnya adalah, produsen furnitur Indonesia sangat menekankan praktik produksi yang berkelanjutan dan penggunaan bahan yang ramah lingkungan hingga pengelolaan hutan yang bertanggung jawab. Hal ini yang membedakan produk furnitur Indonesia di pasar global dan menarik konsumen yang sadar lingkungan.
“Kita patut bersyukur, untuk beberapa perusahaan masih mengalami pertumbuhan ekspor. Hal ini tentu mesti dicari faktor utamanya. Dan di antara faktor-faktor tersebut ternyata soal desain dan penggunaan teknologi mutakhir yang menyebabkan daya saing tinggi sehingga produk yang dihasilkan dapat bersaing di tingkat global,” tutupnya.