Jurnalindustry.com – Jakarta — Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam Rayon Tekstil (KAHMI Tekstil) menyatakan dukungan penuh terhadap formulasi kenaikan upah tahun 2026 yang telah ditetapkan pemerintah.
Organisasi ini menilai kebijakan tersebut sebagai langkah adil dan realistis untuk menjaga keseimbangan antara keberlangsungan dunia usaha dan peningkatan kesejahteraan pekerja.
Direktur Eksekutif KAHMI Tekstil, Agus Riyanto mengatakan bahwa penetapan rentang alfa sebesar 0,5–0,9 dalam formula kenaikan upah 2026 memberikan ruang fleksibilitas bagi pemerintah daerah untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi masing-masing wilayah.
“Perubahan rentang alfa ini mencerminkan perhatian serius pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama di tengah tren penurunan daya beli yang terjadi secara sistemik,” ujar Agus di Jakarta.
Menurut Agus, data inflasi nasional yang mencapai 2,65 persen (year-on-year) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) di level 108,74 menunjukkan bahwa harga barang rata-rata telah naik 8,74 persen dibanding tahun dasar. Kondisi ini, katanya, secara langsung menggerus nilai riil pendapatan masyarakat dan menekan konsumsi non-esensial.
Menanggapi protes sebagian kalangan pengusaha terhadap kenaikan upah, Agus menilai sikap tersebut kurang bijak. Ia menegaskan bahwa pekerja merupakan mitra strategis pengusaha dalam membangun keberlanjutan perusahaan.
“Ketika pekerja berada dalam kondisi sulit, pengusaha justru berkewajiban memperkuat mereka. Kinerja perusahaan akan meningkat jika kesejahteraan tenaga kerjanya terjaga,” tegasnya.
Ia mencontohkan industri garmen yang saat ini menghadapi tekanan ganda, mulai dari kenaikan biaya produksi hingga maraknya tren pembelian produk murah seperti thrifting. Namun, Agus menilai fenomena tersebut tidak bisa dilepaskan dari melemahnya daya beli masyarakat.
Sebagai sektor padat karya, industri tekstil dan produk tekstil menyerap jutaan tenaga kerja dan menjadi penggerak penting perekonomian nasional.
Agus memperingatkan bahwa jika tren penurunan daya beli terus berlanjut, maka permintaan produk dalam negeri akan semakin tertekan dan berpotensi memicu deindustrialisasi secara diam-diam.
“Kenaikan upah memang meningkatkan biaya produksi, tapi penurunan daya beli juga berdampak langsung pada penurunan permintaan. Jika ini dibiarkan, industri dalam negeri bisa terpukul secara sistemik,” jelasnya.
Meski mengakui kenaikan upah akan menambah beban keuangan perusahaan, terutama di sektor tekstil dan garmen, KAHMI Tekstil menilai banjirnya barang impor ilegal justru menjadi persoalan utama.
Agus menuding praktik tersebut terjadi akibat ulah oknum pejabat korup yang bermain mata dengan importir.
“Tidak adil jika kesalahan para bandit ini justru dibebankan kepada tenaga kerja dengan dalih daya saing,” tegas Agus.
Ia juga menyayangkan sikap sejumlah organisasi pengusaha yang dinilai enggan mengungkap akar permasalahan di pasar domestik dan cenderung kompromistis terhadap praktik-praktik kotor tersebut.
“Jangan jadikan tenaga kerja sebagai tumbal atas nama daya saing,” ujarnya.
Di sisi lain, KAHMI Tekstil mengapresiasi langkah Menteri Keuangan Purbaya dalam melakukan pembenahan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak. Meski hasilnya belum maksimal, Agus menilai upaya tersebut menjadi sinyal positif bagi dunia usaha.
“Kini tinggal menunggu gebrakan Kementerian Perindustrian sebagai pemberi rekomendasi kuota impor. Jika menterinya diam, mafia kuota akan terus bercokol,” pungkas Agus.





























