Jurnalindustry.com – Jakarta – Majelis Rayon Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Tekstil mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertekstilan sebagai payung hukum yang dibutuhkan dalam revitalisasi Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) nasional.
Industri TPT merupakan sektor strategis nasional yang tidak hanya menjadi tulang punggung manufaktur, tetapi juga berkontribusi besar terhadap penyerapan tenaga kerja, ekspor non-migas, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia (sandang).
Direktur Eksekutif KAHMI Tekstil Agus Riyanto menyesalkan fakta bahwa hingga saat ini Indonesia masih belum memiliki regulasi khusus berupa undang-undang yang secara komprehensif mengatur tata kelola industri TPT dari hulu hingga ke hilir.
“Indonesia adalah satu dari sedikit negara di dunia yang memiliki industri TPT lengkap dan terintegrasi dari serat, benang, kain, hingga garmen. Kontribusinya terhadap perekonomian negara juga jelas dan terukur. Karena itu, dibutuhkan payung hukum yang jelas untuk memastikan keberlanjutan, penguatan daya saing, serta perlindungan kepentingan pelaku usaha dan pekerja,” ujar Agus dalam keteranganna
Lebih lanjut Agus juga mengatakan bahwa ketiadaan UU Pertekstilan telah menimbulkan tumpang tindih aturan antar kementerian yang sering kali merugikan pelaku industri.
Kehadiran undang-undang ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, konsistensi kebijakan, serta arah pembangunan industri TPT yang berkelanjutan.
KAHMI Tekstil juga mengecam pernyataan Martin Manurung, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI yang merupakan kader Partai Nasdem, dalam rapat pembahasan RUU Pertekstilan bersama Badan Keahlian DPR RI pada Rabu (3/9) kemarin.
Pernyataan Martin dinilai sebagai bentuk strawman fallacy yang menyederhanakan urgensi pembangunan industri TPT hanya sebatas pembentukan lembaga atau badan pertekstilan.
“Padahal, esensi dari RUU Pertekstilan adalah memberikan kerangka hukum yang mengatur keseluruhan ekosistem industri TPT, mulai dari pelaku usaha, pekerja, investasi, riset dan inovasi, perlindungan konsumen, hingga iklim usaha yang sehat dan berdaya saing. Martin Manurung membuat penggiringan opini publik yang menyesatkan masyarakat,” tegas Agus.
Pada keterangan terpisah, Ananta Dwi Hasto Sekretaris Jenderal IKA ITT-STTT-Politeknik STTT Bandung menegaskan bahwa UU Pertekstilan bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan strategi nasional untuk menyelamatkan industri yang menyerap jutaan tenaga kerja dan menopang kehidupan masyarakat luas. RUU Pertekstilan sangat penting bagi kelangsungan industri nasional.
“Kita bisa melihat jelas bahwa industri tekstil dan produk tekstil kita berkontribusi besar terhadap perekonomian dan pembangunan. Jumlah ekspor TPT kita tahun lalu mencapai 11,3 miliar US dollar, serapan tenaga kerja langsung lebih dari 4,5 juta orang untuk sektor TPT dan alas kaki. Mencapai 8 juta tenaga kerja jika ditambah sektor informal seperti IKM dan pengusaha lanjutan. UU Pertekstilan ini penting bagi kelangsungan industri nasional,” jelas Ananta.
Dia menambahkan, dalam 1 dekade terakhir industri tekstil Indonesia mengalami beberapa hambatan dalam kelangsungannya. Seperti adanya praktik dumping price produk impor, massifnya impor benang dan kain ditengarai menjadi penyebab 60 pabrik tutup dan lebih dari 250 ribu karyawan terkena PHK pada periode tahun 2022 hingga 2024 karena tidak bisa bersaing.
Dari sumber yang dihimpun redaksi, impor tekstil memang menunjukkan lonjakan yang signifikan dalam dekade terakhir dari 7,57 miliar USD pada 2012 hingga mencapai 9,54 miliar USD. Bahkan, impor tekstil pernah tercatat hanya 1,55 miliar USD pada tahun 2005.