Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bersama pemangku kepentingan terkait lainnya serius untuk melakukan upaya pencegahan dan pengendalian peredaran rokok ilegal di dalam negeri.
Maraknya peredaran rokok ilegal, dapat mengancam keberlanjutan usaha industri rokok yang legal.
“Selain itu, adanya rokok ilegal juga bertentangan dengan prinsip pengembangan industri hasil tembakau (IHT), yaitu mengoptimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatifnya,” kata Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo dalam Forum Group Discussion bertajuk “Pencegahan Perokok Anak Sejak Usia Remaja di Indonesia” di Jakarta, Rabu (27/4).
Edy menyebutkan, regulasi yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi peredaran rokok ilegal, di antaranya melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 72 Tahun 2008 tentang Pendaftaran dan Pengawasan Penggunaan Mesin Pelinting Sigaret (rokok).
Dalam regulasi tersebut, disebutkan perusahaan industri Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Putih Mesin (SPM) dan perusahaan rekondisi wajib didaftarkan pada dinas provinsi serta memiliki sertifikasi registrasi dan dilakukan pengawasan secara berkala oleh pemerintah daerah.
“Jadi, dalam upaya mencegah kegiatan produksi sigaret (rokok) ilegal yang dapat membahayakan masyarakat, perlu dilakukan pembinaan melalui pendaftaran mesin pelinting sigaret (rokok) dan pengawasan terhadap penggunaannya,” paparnya.
Regulasi berikutnya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT). KIHT ini dibentuk oleh Ditjen Bea Cukai sebagai upaya preventif, yang diperuntukan bagi IHT skala kecil dan menengah. Sementara itu, upaya represif dilakukan penegakan hukum melalui Program Gempur Bea dan Cukai.
“Kebijakan lainnya adalah dialokasikannya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), yang merupakan kebijakan bantalan untuk membantu mengatasi dampak negatif, antara lain untuk penanganan masalah kesehatan, untuk menekan peredaran rokok ilegal, dan lain-lain,” sebut Edy.
DBHCHT tersebut ditetapkan melalui PMK dengan besaran 2% dari perolehan cukai. Penggunaan DBHCHT, porsi terbesarnya (50%) untuk kesejahteraan masyarakat dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi di daerah.
Kemudian, sebesar 40% untuk kesehatan dalam rangka mendukung Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sisanya, 10% untuk penegakan hukum dalam rangka menurunkan tingkat peredaran barang kena cukai (BKC) illegal.
Edy berharap, dengan upaya pencegahan dan pengendalian peredaran rokok ilegal di dalam negeri, kinerja sektor IHT di tanah air dapat terjaga baik. Sebab, sektor IHT berperan strategis dalam menopang perekonomian nasional karena sebagai penyumbang devisa negara dan penyerap tenaga kerja yang cukup signfikan.
“Sektor IHT merupakan penyumbang penerimaan negara terbesar melalui cukai hasil tembakau, PPN dan PPh,” ungkapnya.
Pada tahun 2021, pendapatan cukai hasil tembakau mencapai Rp188 triliun. Selain itu, Indonesia adalah negara eksportir terbesar ke-6 di dunia untuk produk IHT. Pada tahun 2021, IHT mencatatkan nilai ekspornya sebesar USD855 juta.
“Selain itu, banyak sekali masyarakat kita yang menggantungkan hidupnya dari usaha hulu sampai hilir di sektor IHT,” tuturnya.
Sektor IHT ini mempunyai keterkaitan yang cukup erat dari sektor hulu ke hilir, dan berdampak luas secara sosial dan ekonomi yang melibatkan 2 jutaan petani tembakau dan cengkeh, serta 600 ribu buruh pabrik rokok, hingga melibatkan 2 juta pelaku usaha dan tenaga kerja di sektor distribusi dan retail.
Ketua Gabungan Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi menyatakan, isu penurunan prevalensi perokok anak merupakan tanggung jawab semua pihak.
“Gaprindo berpendapat upaya yang perlu dilakukan adalah peningkatan kegiatan sosialisasi, edukasi, penegakan hukum, dan koordinasi dalam implementasinya di lapangan,” ujarnya.
Hal tersebut sejalan dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012, yang menyebutkan bahwa Pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab untuk mengedukasi dan mensosialisasikan bahaya rokok, termasuk pencegahan perokok anak.
“Upaya GAPRINDO dalam rangka mencegah perokok anak sudah dimulai dari tahun 1999, antara lain melakukan edukasi kepada anak, orang tua, dan guru melalui kegiatan seminar, kunjungan ke sekolah-sekolah di lima kota besar, kampanye di jalan, berkolaborasi dengan influencer di media sosial, serta melalui website www.cegahperokokanak.id,” paparnya.
Selain itu, GAPRINDO juga melakukan sosialisasi ke peritel tradisional dan modern.
“Upaya pencegahan perokok anak ini baru akan menunjukkan hasil yang signifikan bila didukung oleh semua pemangku kepentingan mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha dan masyarakat luas sehingga menjadi sebuah Gerakan Nasional,” imbuhnya.
Dikesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan bahwa dibutuhkan kebijakan yang mendorong produk Industri Hasil Tembakau (IHT) rendah nikotin.
“Saya kira memang belum ada kebijakan yang sifatnya mendorong produk tembakau yang rendah nikotin di Indonesia. Kalau di luar sudah mulai ada,” kata Tauhid.
Menurutnta, salah satu kebijakan yang bisa diambil antara lain, pengenaan cukai tinggi bagi produk tembakau yang mengandung tinggi nikotin.
Sementara, lanjut Tauhid, pengenaan cukai lebih rendah diberlakukan kepada produk tembakau dengan kadar nikotin yang lebih rendah.
“Dengan demikian, pengenaan cukai akan sesuai dengan esensinha, yaitu untuk melindungi masyarakat,” ujar Tauhid.
Menurut Tauhid, regulasi cukai yang kuat perlu dibarengi dengan koordinasi antar kementerian yang baik. Mengingat, persoalan rokok bukan hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Perindustrian.
Terlebih, terdapat faktor kesehatan yang melekat dalam pertumbuhan IHT di dalam negeri.
“Perlu ada koordinasi dengan Kementerian Perdagangan soal perdagangan rokok, Kementerian Pendidikan soal bagaimana mengedukasi terkait rokok, Kementerian Kesehatan, hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait tayangan digital rokok,”
Untuk itu, Tauhid menyampaikan bahwa perlu dirumuskan formula baku dengan tetap memperhatikan dimensi pengendalian (kesehatan), tenaga kerja, penerimaan negara, peredaran rokok illegal dan petani tembakau dengan mempertimbangkan data terkini tiap tahunnya.
Kemudian, mempertimbangkan dimensi-dimensi lainnya dalam penanganan prevalensi merokok anak yang belum diatur dalam regulasi, misalnya tayangan digital. Terakhir, mengantisipasi shifting dampak dari penyederhanaan layer bagi industri terkait.