Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan terus mendorong peningkatan produktivitas industri gula melalui pola intensifikasi dan ekstensifikasi hingga pemanfaatan digitalisasi.
Langkah ini dalam rangka mengakselerasi pemenuhan kebutuhan gula yang kian meningkat, terutama di pasar domestik.
“Industri gula merupakan salah satu sektor strategis, karena komoditasnya berperan penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan sebagai bahan baku bagi sejumlah sektor industri penggunanya. Hal ini membuat industri gula punya nilai strategis bagi ketahanan pangan nasional dan peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Minggu (7/8).
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula Sebagai Barang Dalam Pengawasan, gula dibagi menjadi tiga jenis, yaitu Gula Kristal Mentah (GKM) yang dipergunakan sebagai bahan baku proses produksi, Gula Kristal Putih (GKP) merupakan gula kebutuhan konsumsi langsung atau rumah tangga, dan Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang merupakan bahan baku industri.
“Kemenperin sedang berupaya untuk meminimalkan gap jumlah produksi gula kristal putih. Oleh karenanya, untuk memenuhi jumlah kebutuhan yang meningkat, diperlukan produktivitas yang tinggi. Hal ini sesuai arahan Bapak Presiden agar produksi gula konsumsi bisa memenuhi kebutuhan masyarakat,” paparnya.
Pada tahun 2021, produksi gula nasional sebesar 2,35 juta ton yang terdiri dari produksi pabrik gula BUMN sebesar 1,06 juta ton dan pabrik gula swasta sebesar 1,29 juta ton. Sementara itu, kebutuhan gula tahun 2022 mencapai sekitar 6,48 juta ton, terdiri dari 3,21 juta ton GKP dan 3,27 juta ton GKR.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika mengatakan, saat ini masih terdapat gap kebutuhan gula sekitar 850 ribu ton untuk gula konsumsi dan 3,27 juta ton untuk gula rafinasi.
Lonjakan kebutuhan tersebut disebabkan oleh peningkatan konsumsi rumah tangga seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan tumbuhnya industri makanan dan minuman yang diproyeksi meningkat 5-7 persen per tahunnya.
Beberapa waktu lalu, Dirjen Industri Agro meninjau PT Rejoso Manis Indo (RMI) di Biltar, Jawa Timur.
“Untuk mewujudkan swasembada gula nasional, kami dari pemerintah sangat mengapresiasi atas upaya yang dilakukan oleh PT RMI dalam mengembangkan industri gula nasional dengan mendirikan pabrik gula yang terintegrasi dengan perkebunan tebu melalui kemitraan dengan petani tebu,” tuturnya.
Pada tahun 2022, PT RMI mendapat pasokan tebu dengan luasan panen seluas 15.080 hektare (ha) dengan potensi produksi sebesar 93.661 ton atau meningkat cukup signikan dibandingkan tahun 2021 dengan luas areal panen seluas 13.721 ha dan produksi GKP sebesar 67.677 ton.
PT RMI saat ini memiliki kapasitas giling 10.000 ton tebu per hari (TCD) dan dapat diperluas menjadi 20.000 TCD dan kapasitas produksi sebesar 1.500 ton per hari (TPD) dengan menggunakan teknologi Defekasi Remelt Karbonatasi (DRK).
Total investasi PT RMI sebesar Rp3,4 triliun, keberadaannya mendorong tumbuhnya berbagai lapangan pekerjaan baru lainnya yang menyerap lebih dari 40.000 orang tenaga kerja baik di tingkat on farm maupun off farm.
“PT RMI memiliki potensi untuk bisa dikembangkan lagi produksinya hingga 2,5 kali. Apalagi, nanti kalau didukung dengan infrastruktur jalan yang lebih bagus. Saat ini, per hari ada 1.200 truk, dan kalau kualitas jalan lebih baik lagi, truk bisa mengangkut dua kali lebih banyak,” ujarnya.
Sementara itu Wakil Direktur Utama PT RMI, Syukur Iwantoro membenarkan bahwa sarana prasarana seperti jalan menjadi salah satu penunjang utama untuk peningkatan produksi industri gula.
“Terkait jumlah produksi, permasalahannya bukan di mesin, tetapi lebih karena terkendala infrastruktur jalan. Oleh karenanya, pengembangan jalan bagi industri gula ini memang perlu ditingkatkan menjadi kelas satu,” jelasnya.
Ia menilai bahwa masalah infrastruktur jalan sangat urgen dan mendesak. Sebab hal tersebut terkait dengan mobilitas petani dan keberlangsungan pabrik untuk bisa mencapai kapasitas maksimal.
“Dengan kelas jalan yang tidak memadai, yang merasa terhambat tidak hanya perusahaan, tetapi juga petani merasa dirugikan. Karena yang seharusnya satu kali angkut dengan fuso truk gandeng, harus dua sampai tiga kali angkut. Artinya, ada tambahan biaya petani,” tandasnya.
Syukur menambahkan, potensi lahan yang ada di Blitar masih banyak, belum lagi yang berada di daerah sekitarnya.
“Tahun pertama dan kedua, produksi PT RMI bisa mencapai 6.500 ton tebu perhari, dan tahun ini sudah mencapai 9.000-10.000 ribu ton tebu per hari. Produksi gula di Blitar menyumbang stok nasional hingga 100 ribu ton. Tingginya stok ini karena lahan tebu yang ada semakin luas,” sebutnya.
Pada kesempatan tersebut, Dirjen Industri Agro bersama rombongan PT RMI melakukan dialog dengan para petani tebu di Blitar.
“Selain kami memantau pabrik, kami juga berdiskusi dengan para petani tebu untuk mengetahui kebutuhan dan tantangan yang dihadapi mereka saat ini, sehingga bisa dipecahkan solusinya bersama-sama untuk meningkatkan produktivitas industri gula,” ujar Putu.
Kemenperin memberikan apresiasi kepada PT RMI yang telah melakukan pembinaan kepada para petani tebu dan memfasilitasi pemberian pupuk untuk meningkatkan produktivitas.
“Selain itu, keberadaan PT RMI, selain menambah pendapatan daerah, secara nyata juga telah memberikan efek domino bagi kemajuan warga sekitar dan menciptakan lapangan kerja baru di Blitar, bahkan Jawa Timur umumnya,” imbuhnya.