Jakarta – Lemahnya kendali Kementerian Perdagangan membuat kisruh harga minyak goreng yang tak kunjung turun menjadi berkepanjangan. Berbagai alasan yang disampaikan oleh Menteri Perdagangan justru menambah ketidakpastian bagi masyarakat.
Kebijakan menghilangkan minyak goreng curah serta kebijakan satu harga dengan memberikan subsidi melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dimana harga minyak goreng dipatok Rp14 ribu per liter hanya menambah masalah saja.
“Kementerian Perdagangan seharusnya menjalankan operasi distribusi secara menyeluruh di titik-titik yang teridentifikasi sangat kekurangan pasokan dengan pengawasan yang super ketat, tidak serta-merta menerima alasan para produsen dengan begitu saja,” kata Mohamad Revindo, peneliti senior LPEM FEB-UI.
Menurut Revindo, pemerintah juga tidak cukup hanya menunggu produsen dan distributor menjalankan kebijakan. Langkah keras ataupun tangan besi melalui pengawasan hingga penjatuhan sanksi harus dilakukan.
“Menko Perekonomian juga harus memberikan peringatan kepada Menteri Perdagangan atas kegagalan implementasi kebijakan dan berbagai perubahan tanpa kejelasan,” menurut Revindo.
Seperti yang dilansir sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi sempat mengemukakan bahwa kenaikan harga CPO dan minyak goreng didorong oleh adanya subsidi pada sektor produski biofuel B30. Padahal, penggunaan CPO untuk program B30 ini hanya menggunakan sekitar 7,3 juta liter, dan untuk minyak goreng tersedia sekitar 32 juta liter.
Hal senada dikemukakan oleh Wakil Ketua Komisi VI DPR Gde Sumarjaya Linggih. “Saya tidak paham cara bekerja Menteri Perdagangan yang terus mengubah kebijakan tanpa memikirkan output dan outcome yang jelas,” ujar pria yang akrab dipanggil Demer.
Menurut Demer perubahan kebijakan secara beruntun tidak hanya menyulitkan penerapannya di lapangan, tetapi juga berpotensi menyebabkan kerugian negara yang cukup signifikan.
“Bagaimana masyarakat tidak marah, sudah harga minyak goreng mahal, kebijakan berubah terus dan operasi pasar tidak berjalan dengan baik,” tukas Demer. “Presiden dan Menko Ekonomi harus segera memanggil dan memberi teguran keras kepada Mendag” lanjutnya.
Demer menjelaskan bahwa blunder terbesar Mendag adalah kebijakan menghilangkan minyak goreng curah dipasaran dan memaksakan penjualan menggunakan kantong sederhana.
“Apa ini tidak dipikirkan secara benar dan matang? Minyak goreng curah adalah cara paling mudah mendistribusikan kepada masyarakat. Kalau produsen harus menggunakan proses packaging baru, kapan akan selesai masalah ini?,” jelasnya.
Kenaikan harga minyak goreng sejak tiga bulan lalu sebenarnya sudah di prediksi beberapa pihak karena harga crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah di pasar global terus meningkat dan selalu mencetak harga tertinggi sampai Februari ini. CPO merupakan bahan baku minyak goreng.
Beberapa media mengatakan kenaikan harga CPO yang belum pernah terjadi sebelumnya disebabkan oleh situasi pandemi yang mengacaukan jumlah permintaan dan pasokan. Perubahan iklim juga dikatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi pasokan CPO.
Oleh sebab itu, pemerintah mencanangkan kebijakan minyak goreng satu harga selama enam bulan karena harga CPO diperkirakan masih tinggi dalam beberapa bulan ke depan.
Peneliti senior dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan pemerintah harus menerapkan kebijakan “special treatment” terhadap pasar dalam negeri.
“Semestinya pemerintah ada kebijakan yang memang memprioritaskan suplai di dalam negeri dulu, baru kemudian ekspor. Kalau sekarang kan treatment-nya sama. Apalagi sekarang harga di internasional lebih tinggi, jadi otomatis para produsen CPO yang merupakan bahan baku dari minyak goreng dia akan terdorong untuk menyuplai ke luar negeri dibandingkan ke dalam negeri,” kata Faisal.
Dia mengatakan pemerintah harus tegas agar hal ini “tidak terulang” di negara yang menjadi produsen CPO terbesar di dunia.
“Tidak mesti dengan ekspansi lahan, perkebunan yang sudah ada saja harus diintensifkan karena produktivitas lahan perkebunan CPO masih relatif rendah dibandingkan negara lain, seperti Malaysia,” kata Faisal.