Konawe – Pembangunan Kawasan industri di luar Pulau Jawa mengakomodasi kebijakan hilirisasi industri berbasis Sumber Daya Alam. Hal ini mampu meningkatkan nilai tambah komoditas secara signifikan, juga berkontribusi terhadap upaya substitusi impor, peningkatan serapan tenaga kerja, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian di daerah.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong berdirinya kawasan-kawasan industri untuk menjalankan aktivitas hilirisasi industri, termasuk yang berbasis nikel.
Dengan memiliki cadangan nikel sebesar 72 juta ton, atau mencapai 52% dari total cadangan nikel dunia (data 2020), Indonesia punya daya tarik besar bagi investasi di sektor industri tersebut.
“Kemenperin telah menyusun pengembangan perwilayahan industri hingga 2035 yang mencakup peningkatan peran wilayah luar Jawa dalam menciptakan nilai tambah sektor industri pengolahan non-migas sebesar 40% dari total nilai tambah sektor industri pengolahan non-migas nasional,” kata Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Iklim Usaha dan Investasi Andi Rizaldi di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Kamis (19/5).
Target tersebut meliputi pembangunan 36 Kawasan Industri dengan prioritas pengembangan di luar pulau Jawa yang didukung dengan penyediaan lahan sekitar 50.000 ha dan pembangunan sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM) baru, minimal satu Sentra IKM di setiap Kabupaten/Kota.
Di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang merupakan satu dari 22 Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri (WPPI) sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035, terdapat Kawasan Peruntukan Industri (KPI) seluas 4.244,68 Hektare, dengan empat Kawasan Industri, termasuk di antaranya Kawasan Industri Nusantara Industri Sejati.
Pada kesempatan tersebut, Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin meresmikan peletakan batu pertama kawasan industri Nusantara Industri Sejati (NIS) di Kecamatan Motui, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
“Pemerintah mendorong pembangunan KI NIS sehingga mampu mengoptimalkan nilai tambah hilirisasi, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong perekonomian daerah,” ujar Wakil Presiden.
KI NIS akan membangun smelter dengan teknologi Rotary Kiln-Electris Furnice (RKEF). Kapasitas produksi di tahap awal sebesar 70.000 ton, dengan kadar Nikel 10-12 persen. Smelter ini akan dibangun dengan menggunakan luas area tahap pertama, yaitu 375 Hektare.
Presiden Komisaris NT Corp Nurdin Tampubolon menyampaikan, Smelter Nikel yang dibangun akan menghasilkan Ferro Nickel sebagai bahan baku untuk pabrik lainnya, dalam bentuk produk turunan seperti Nickel Metal, Ni Powder, batteries, hingga aplikasi untuk industri otomotif, alat rumah tangga, dan peralatan kesehatan.
Dukungan bagi WPPI Sulawesi Tenggara
Wakil Presiden menyampaikan keinginan Pemerintah untuk mengembangkan ekosistem kawasan industri modern yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Untuk itu, Pemerintah mendukung penuh agar iklim investasi di Indonesia semakin baik, dengan terus meningkatkan daya tarik investasi, melalui pemberian kemudahan perizinan, fasilitas insentif fiskal dan nonfiskal, hingga pemberlakuan larangan ekspor bahan mentah.
“Pesan saya kepada pengelola Kawasan Industri NIS, agar segera menyiapkan daya dukung dan daya tampung di dalam kawasan industri untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing ekspor,” ujarnya.
Selain itu, partisipasi investor sangat diperlukan dalam membangun ekosistem industri yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Kebutuhan infrastruktur pendukung dalam WPPI Sulawesi Tenggara meliputi jalan, gas, dan air baku. Untuk meningkatkan daya dukung Kawasan industri di WPPI Sulawesi Tenggara, Kemenperin telah menyampaikan usulan kepada Bappenas agara perbaikan jalan nasional dari Pohara menuju Kabupaten Konawe Utara sepanjang 15 kilometer masuk ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2023 kepada Bappenas.
“Kami juga melihat perlunya pembangunan jaringan gas bumi di Provinsi Sulawesi Tenggara,” ujar Staf Ahli Menteri Perindustrian Andi Rizaldi.
Produksi bijih nikel di dalam negeri ditujukan untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri dalam negeri dengan memperhatikan Environmental Social Governance, artinya sektor industri turut memperhatikan pengelolaan lingkungan hidup dan keberlanjutannya (sustainability), serta pengembangan wilayah dan masyarakat.