Jakarta – Impor tekstil ilegal kian meresahkan dan menjadi biang-kerok terpuruknya industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dalam beberapa tahun terakhir.
Data International Trade Center (ITC) memperlihatkan gap yang sangat besar antara catatan impor Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data ekspor China ke Indonesia berdasarkan data dari General Custom Administration of China.
Berdasarkan data tersebut, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengatakan bahwa ditahun 2022 gap-nya mencapai USD 2,94 miliar atau setara Rp43 triliun, dimana ekspor TPT China ke Indonesia untuk TPT (HS 50-63) mencapai USD 6,5 miliar, sedangkan angka impor TPT yang dikelola BPS hanya USD 3,55 miliar.
“Jika diasumsikan impor per kontainer senilai Rp1,5 miliar maka diperkirakan sekitar 28.480 kontainer TPT ilegal masuk pertahun, atau sekitar 2.370 kontainer ilegal perbulan,” jelas Redma.
Menurutnya, angka impor ilegal ini terus naik setiap tahun. Padahal beberapa tahun sebelumnya masih dibawah USD 2 miliar.
Jika dibandingkan dengan nilai konsumsi TPT masyarakat ditahun 2022 yang diperkirakan mencapai USD 16 miliar, maka pangsa pasar barang impor ilegal ini mencapai 41%.
“Artinya, 41% TPT yang dikonsumsi masyarakat adalah ilegal. Hal ini tentu sangat merugikan karena barang-barang impor ilegal ini tidak bayar Bea Masuk dan Pajak sehingga bisa dijual sangat murah dipasar domestik dan produk lokal kalah bersaing,” tambahnya.
Redma melanjutkan bahwa permasalahan ini sudah menahun menjadi biang kerok terpuruknya kinerja industri TPT nasional.
Ia menjelaskan bahwa besaran eskpor TPT China ke Indonesia untuk HS CODE 50-63 yang mencapai USD 6,5 miliar setara dengan 800 ribu ton atau sekitar 45% dari kapasitas produksi industri kecil menengah (IKM) garmen yang berorientasi pasar domestik.
“800 ribu ton pertahun jika dikerjakan oleh IKM bisa menyerap tenaga kerja sekitar 2,4 juta orang, belum lagi jika ditarik sampai ke pembuatan kain, benang, serat hingga industri pendukung lainnya. Multiplier-effect ekonomi nya sangat besar, selain pendapatan pemerintah dari sektor pajak, juga dari penggunaan listrik, pembayaran BPJS dan lain sebagainya,” tegasnya.
Untuk itu, Redma meminta agar pemerintah segera bertindak tegas baik disisi importasinya maupun dari sisi peredarannya dipasar.
“Ini sudah terjadi pembiaran selama bertahun-tahun, hingga saat ini kondisi industri TPT nasional sudah kronis, beberapa perusahaan sudah tutup, sebagian sudah banyak mematikan mesin hingga banyak karyawan yg terkena rasionalisasi karena utilisasi turun,” ungkapnya.
Kemudian Redma menambahkan bahwa kondisi yang sama terjadi juga di beberapa sektor. Berdasarkan sumber data yang sama, gap catatan ekspor-impor antara Indonesia dengan Singapura ditahun 2022 mencapai USD 17 miliar.
“Jadi gap yang terbesar adalah dengan Singapura, namun jika di break-down, impor ilegal dari Singapura didominasi produk elektronik, sedangkan TPT ilegal masih didominasi dari China,” tutup Redma.