Jurnalindustry.com – Jakarta – Penerapan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) untuk keramik impor asal Tiongkok menuai banyak polemik.
Pasalnya, kebijakan tersebut dinilai akan berdampak negatif terhadap perdagangan dan perekonomian Indonesia, salah satunya menyangkut kelangkaan stok keramik di pasaran yang berimbas kepada kenaikan harga.
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho, mendesak pemerintah khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk membatalkan atau menunda pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) yang diusulkan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) terhadap produk keramik dari China.
“Dalam hal ini pressure kepada Kementerian Keuangan bahwa Kementerian Keuangan harus melihat apakah memang saran ini tepat atau rekomendasi ini tepat, karena tentu yang kita takutkan implikasinya bermacam-macam, jangan sampai satu regulasi berimplikasi ke beberapa hal yang tentunya tidak kita inginkan ke depannya,” ujar Andry.
Andry menghimbau pemerintah supaya tidak membuat kebijakan kontraproduktif yang membuat tekanan terhadap konsumsi masyarakat.
“Jadi menurut saya dampaknya sudah mulai terasa dan kita harus melihat di sisi lain, daya beli dari masyarakat ini sedang menurun, kelas menengah sedang turun degradasi ke kelas bawah ini menurut saya harus dilihat bahwa kita tidak boleh mengeluarkan regulasi yang pada akhirnya memberikan tekanan terhadap konsumsi dari masyarakat menengah,” tegasnya.
Andry menambahkan saat ini saja sebelum BMAD ditetapkan, di tengah kebutuhan keramik yang tinggi mulai terjadi kelangkaan di pasar, hal ini menghambat masyarakat untuk membangun rumah, termasuk para kontraktor yang sedang mengerjakan konstruksi perumahan terkena imbasnya.
“Pemerintah harus jelas terkait dengan regulasi ini, karena kita tahu bahwa belum ditentukan keputusan dari BMAD ini, iya atau tidak, barang itu sudah langka. Kalau barang sudah langka real estate sulit untuk membangun padahal kontrak sudah berjalan, konstruksi sudah berjalan, kita juga melihat masyarakat pada akhirnya harus menanggung biaya akibat kelangkaan ini,” tuturnya.
Lebih lanjut, Andry menyampaikan rencana penerapan BMAD yang awalnya mencapai 200% kini berubah turun menjadi sekitar 40-50% pun dipertanyakan, sebab mau sekecil apapun tarif yang dipatok harus dibuktikan secara objektif terlebih dahulu bahwa telah terjadi dumping.
“Regulasi itu harus jelas bahkan mau dibuat 10% sekalipun, kecil sekalipun harus terbukti bahwa ternyata memang terbukti dumping sebesar 10%, sehingga kita bisa mengenakan bea masuk 10%, nah ini tidak ada buktinya apa?,” ungkapnya.
“Bahkan menurunkan dari 200% ke 50% berarti ini kan hanya regulasi yang dibangun oleh intuisi yang bersifat subjektif bukan objektif, kepercayaan dari para pelaku usaha akan turun pada pemerintah. Oh ternyata regulasi yang dibuat ini semata-mata hanya bersifat subjektif,” imbuhnya.
Ditambahkan Andry, jangan sampai kemudian pihak China melakukan balasan terhadap produk-produk dalam negeri, itu yang tidak diharapkan terjadi.
“Jangan sampai nanti otoritas dari China mempertanyakan dan pada akhirnya mereka juga membalas pengenaan bea masuk anti dumping untuk produk-produk kita, padahal kita tidak melakukan dumping. Nah itu yang kami takutkan sih sebetulnya, proses balasan ini yang bisa terjadi,” jelasnya.
Dikatakan Andry, sebaiknya KADI membuka data kepada masyarakat bahwa jika memang telah terjadi dumping sampaikan secara objektif dengan angka yang akurat dan transparan.
Dirinya menantang KADI untuk membuktikannya. Jika KADI tidak mampu membuktikan hal tersebut, Andry meminta untuk dilakukan kajian ulang yang lebih mendalam.
“Dumpingnya apakah besar atau kecil tidak disebutkan juga oleh KADI, kan tiba-tiba keluar, oke akan kenakan dumping 50%, nah 50% apakah memang dumpingnya sampai 50%, jangan-jangan ternyata lebih rendah lagi. Atau bahkan tidak ada dumping,” paparnya.
“Nah apakah KADI bisa membuktikan itu juga dengan hasil kemarin kan tidak ketahuan dumpingnya itu berapa? Nah ini menurut saya alangkah lebih baiknya perlu dilakukan investigasi ulang, kenapa demikian? Karena KADI ini kan menurut saya institusi yang dirasa menjadi institusi yang penting dalam hal membuktikan apakah produk impor ini terkena dumping atau tidak,” tuntasnya.
Penerapan tarif bea masuk untuk impor keramik asal Tiongkok akan menimbulkan dampak yang sangat besar bagi industri hilir keramik Indonesia.
Dengan berlakunya Antidumping, dinilai akan memicu angka pengangguran bertambah akibat dari tutupnya perusahaan Importir dan perdagangan umum, perusahaan supplier, perusahaan bahan bangunan dan lainnya yang tidak dapat meneruskan usahanya, akibat tarif pajak Antidumping yang sangat tinggi
“Banyak industri hilir yang akan bangkrut. Siap-siap angka pengangguran akan bertambah menjadi 500 ribu x 4 orang per keluarga = 2 juta orang yang terdampak bahkan bisa lebih,” terangnya.
Adapun, Hal Karyawan yang akan terimbas sebanyak 500.000 karyawan yang akan terkena PHK terdiri dari Perusahaan Perdagangan Umum yang sudah berkiprah dalam andil pembangunan di negara Indonesia selama 30 tahun lebih akan terimbas dan terancam tidak dapat melanjutkan bisnisnya.
Kemudian perusahaan-perusahaan penyalur ubin keramik, Supermarket bahan bangunan, yang tidak mendapatkan barang yang cukup untuk dijual namun biaya bulanan tetap harus berjalan, sehingga tidak tertutupi.
“Proses kebangkrutan juga hanya tinggal menunggu waktu dari sektor perusahaan jasa forwarder, perusahaan penyewaan truk trailer angkutan kontainer dan buruh kerja di pelabuhan-pelabuhan, semua akan terdampak. Belum lagi dari sektor industri hilir lainnya pasti akan terdampak domino ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, dirinya menyebut bahwa dengan berlakunya Antidumping maka akan mengurangi devisa negara dari sektor penerimaan pajak impor bernilai sekitar Rp10 triliun per tahun, belum termasuk Ppn penjualan dan PPh badan atas Penjualan di tingkat pasar ke masyarakat Indonesia semuanya.
“Sedangkan program pemerintah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia dan tentunya memerlukan anggaran negara yang Sangat Besar, pada saat ini, produk yang banyak diproduksi oleh produsen dalam negeri yaitu ubin keramik body merah dengan standar penyerapan air di atas 10%, sedangkan produk impor adalah ubin porcelain body putih dengan standar penyerapan air dibawah 5%.
“Produk ini masih sangat kurang diproduksi di dalam negeri, sedangkan pangsa pasarnya sudah terbentuk sejak tahun 1993,” ungkapnya.
Sekedar informasi, pada Rabu siang, 7 Agustus 2024, sepucuk surat sampai di meja Sekretariat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Surat bernomor PD.01/449/M-DAG/SD/08/2024 itu memuat keputusan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan tentang pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) atas impor ubin keramik asal Cina. Dalam bagian sifat surat itu tertulis: segera.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menandatangani dan mengirimkan surat itu kepada Sri Mulyani sehari sebelumnya.
Dia mengklaim telah rampung membahas rencana pengenaan BMAD itu. Dari dokumen tersebut, Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional telah menggelar rapat pleno untuk membahas ihwal BMAD ubin keramik asal Cina di Grand Hyatt Jakarta pada Kamis, 26 Juli 2024 lalu.
Kepala Badan Kebijakan Perdagangan, Kasan Muhri enggan membeberkan besaran tarif yang mereka putuskan. “Menyalahi aturan,” kata Kasan, Rabu, 7 Agustus 2024.
Namun, Zulhas pernah mengungkapkan besaran tarif itu berada di kisaran 40 sampai dengan 50 persen.
“Rata-rata ya,” kata dia di Tempat Penimbunan Pabean Bea Cukai Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa, 6 Agustus 2024.
Angka ini jauh lebih kecil dari besaran BMAD yang sebelumnya beredar di publik. Dalam laporan akhir penyelidikan Komite Antidumping Indonesia (KADI) bertarikh 3 Juli 2024, besar tarif ubin keramik asal Negeri Panda dipatok berkisar 100,12 sampai dengan 198,88 persen.
Terjadi lonjakan besaran tarif dari laporan data utama yang keluar pada 8 Mei 2024. Dalam laporan pertama itu, KADI memang menemukan adanya dumping ubin keramik dari perusahaan-perusahaan Cina. Namun, besaran BMAD tak sampai 100 persen.
Sampai saat ini, publik masih menanti besar BMAD ubin keramik yang akan diputuskan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Andry berharap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bisa menahan kebijakan ini.