Jakarta – Indonesia punya potensi besar untuk meningkatkan hilirisasi minyak atsiri dengan didukung ketersediaan bahan baku di dalam negeri. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan strategis guna memacu inovasi produk turunan dari minyak atsiri agar dapat dimanfaatkan masyarakat luas.
“Indonesia memiliki sebanyak 40 jenis tanaman atsiri dari 99 jenis ragam tanaman atsiri di dunia. Hal ini merupakan peluang dalam meningkatkan nilai tambah bahan baku dalam negeri melalui peran industri industri hilir minyak atsiri (IHMA),” kata Plt. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Putu Juli Ardika di Jakarta, Kamis (9/12).
Dijelaskan Putu, saat ini sektor IHMA telah mampu mengolah minyak atsiri khususnya minyak serai wangi yang dapat dijadikan sebagai Bioaditif bahan bakar minyak (BBM) diesel atau bensin. Selain menciptakan nilai tambah yang berlipat, upaya tersebut juga mendukung kebijakan substitusi impor terhadap BBM.
“Rantai nilai industri Bioaditif BBM ini berawal dari perkebunan penyulingan minyak atsiri, yang umumnya berskala kecil menengah. Teknik formulasi ujicoba produk yang canggih dapat menghasilkan produk Bioaditif BBM untuk digunakan secara luas pada segi kehidupan ekonomi nasional,” ujar Putu.
Kunci agar pengembangan sektor IHMA bisa lebih berdaya saing antara lain melalui riset dan inovasi, formulasi produk, serta memanfaatkan teknologi terkini dalam proses produksi untuk menghasilkan aneka produk hilir yang bernilai tambah tinggi. Hal ini sejalan dengan implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0.
“Upaya tersebut perlu didukung dengan fasilitas riset yang memadai, SDM kompeten, dan kemampuan capturing and delivering value to market yang kuat, sehingga Indonesia menjadi produsen berbagai produk turunan minyak atsiri berskala dunia,” imbuhnya.
Putu menyebutkan, manfaat mekanisme kerja produk Bioaditif BBM antara lain adalah meningkatkan efisiensi kinerja pembakaran mesin, menangkap kandungan air (associated water), meningkatkan angka oktan atau cetane pada BBM konvensional, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
“Dari hasil tersebut, akan terjadi penghematan konsumsi BBM. Hal ini sudah terbukti dari beberapa hasil pengujian,” sebutnya.
Setelah penggunaan Bioaditif BBM ini, performance improvement-nya sekitar 6-13 persen. Selain itu, penggunaan minyak atsiri sebagai Bioaditif BBM ini menunjukkan bahwa kegiatan usaha industri minyak atsiri skala rakyat bisa naik kelas.
“Pada skala konvensional, petani-penyuling rakyat hanya menghasilkan minyak atsiri mentah sebagai bahan baku industri besar produsen perasa, perisa, dan wewangian. Namun demikian, saat ini terjadi diversifikasi produk dan peningkatan nilai tambah yang signifikan dari komoditas minyak atsiri menjadi end products, khususnya minyak serai wangi,” paparnya.
Minyak atsiri telah digunakan sebagai bahan baku industri untuk bahan perasa (essence), perisa (flavor), dan wewangian (fragrance). Total produksi minyak atsiri utama Indonesia mencapai 8.500 ton pada tahun 2020. Beberapa jenis minyak atsiri tropis Indonesia antara lain minyak cengkeh, sereh wangi, nilam, pala, akar wangi, dan kayu putih.
Ke depan, lanjut Putu, diseminasi dan sosialisasi produk Bioaditif BBM dari minyak atsiri ini akan terus ditingkatkan. Upayanya antara lain melalui berbagai ajang otomotif mulai dari skala daerah, nasional, hingga regional.
‘Tujuannya untuk memperkuat pemahaman pasar terhadap produk Bioaditif BBM yang aman sesuai standar nasional dan internasional,” terangnya.
Saat ini, Kemenperin telah menyediakan SNI 8744:2019 Bioaditif berbasis minyak atsiri untuk bahan bakar diesel sebagai baseline jaminan kualitas produk dan keamanan penggunaan bagi konsumen transportasi dan peralatan berat.