Jurnalindustry.com – Jakarta – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan pengetatan pasokan gas dalam program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dengan harga khusus akan berimbas luas terhadap keberlangsungan industri manufaktur.
Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif dalam pernyataan di Jakarta, Jumat menyatakan gangguan suplai dan tingginya surcharge gas, seperti tarif sebesar 16,77 dolar AS per MMBTU, memberatkan pelaku usaha, terutama di sektor padat energi seperti industri keramik, kaca, baja, pupuk, petrokimia, dan oleokimia.
Disampaikan dia pihaknya menerima banyak surat dan laporan dari industri pengguna HGBT yang merasakan dampak langsung kebijakan tersebut, serta menyampaikan keprihatinan mendalam atas pengetatan penerapan subsidi gas industri.
“Seolah-olah ini menjadi masalah klasik yang berulang. Padahal, HGBT adalah keputusan Presiden, yang sudah menetapkan baik harga 6,5 dolar AS per MMBTU dan keberlanjutan pasokannya. Tidak seharusnya ada pihak atau lembaga yang mencoba melakukan subordinasi terhadap perintah Presiden tersebut dalam bentuk menaikkan harga di atas 6,5 dolar AS dan membatasi pasokannya,” kata dia.
Menurutnya, biaya energi merupakan komponen signifikan dalam struktur biaya produksi pada industri penerima HGBT. Kenaikan harga atau berkurangnya pasokan akan langsung menggerus margin keuntungan, menurunkan utilisasi pabrik, dan dalam jangka panjang menekan minat investor untuk menanamkan modal di sektor manufaktur terutama pada industri di sektor pengguna padat energi.
Data Kemenperin mencatat, beberapa sektor industri saat ini mulai menunjukkan penurunan utilisasi akibat kendala pasokan gas. Misalnya, industri keramik nasional yang pada semester I-2025 baru mampu mencapai tingkat utilisasi sekitar 70-71 persen, meski telah membaik dibandingkan tahun sebelumnya.
“Jika pasokan gas terus terganggu, capaian ini bisa tergerus lagi terutama industri pupuk yang akan memasok kebutuhan pupuk dalam program swasembada pangan Presiden Prabowo,” ucap Febri.
Febri menekankan bahwa penerima manfaat terbesar dari program HGBT selama ini berasal dari BUMN. Kebutuhan gas industri secara keseluruhan diperkirakan mencapai sekitar 2.700 MMSCFD, sementara volume HGBT yang tersedia hanya sekitar 1.600 MMSCFD.
“Di sisi lain, perusahaan industri swasta yang menjadi tulang punggung manufaktur nasional kerap mendapat perlakuan berbeda. Ini menciptakan ketimpangan yang tidak sehat dan berpotensi mengganggu iklim usaha,” ungkapnya.
Lebih lanjut, pihaknya mencatat total pekerja yang saat ini menggantungkan nasib pada keberlanjutan pasokan HGBT di sektor industri mencapai 134.794 orang. Apabila pasokan HGBT diketatkan menjadi hanya 48 persen dari kebutuhan, maka sebagian besar pekerja ini berpotensi terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Dari jumlah yang terancam PHK tersebut, rinciannya sebagai berikut: industri pupuk (10.420 pekerja), industri petrokimia (23.006 pekerja), industri oleokimia (12.288 pekerja), industri baja (31.434 pekerja), industri keramik (43.058 pekerja), industri kaca (12.928 pekerja), dan industri sarung tangan karet (1.660 pekerja).
Kemenperin berharap koordinasi lintas kementerian dan lembaga dapat segera dilakukan untuk memastikan ketersediaan HGBT yang adil dan merata. “Gas bumi adalah sumber energi strategis. Kebijakan terkait HGBT harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan BUMN dan industri swasta, sehingga daya saing industri nasional tetap terjaga,” kata Febri.
Ia juga mengingatkan bahwa industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar PDB nonmigas dan memiliki peran penting dalam menyerap jutaan tenaga kerja.