Jakarta – Presiden Joko Widodo menginstruksikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim untuk melakukan evaluasi pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.
“Jadi khusus kami dan Pak Nadiem diminta oleh Bapak Presiden untuk reviu implementasi program pembelajaran tatap muka,” ujar Menkes dalam keterangan pers usai Rapat Terbatas (Ratas) Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), secara virtual dari Jakarta (27/09/2021) sore.
Menteri Budi mengungkapkan, pemerintah akan berkonsentrasi melakukan dua strategi pengendalian Covid-19 yang sifatnya di sisi hulu, yaitu strategi protokol kesehatan (perubahan perilaku atau 3M) dan strategi deteksi atau surveilans atau 3T.
“Kita ingin melakukan strategi surveilans (3T atau deteksi) tadi, khusus untuk aktivitas belajar mengajar. Nanti kalau ini berhasil, kita akan mereplikasi ke aktivitas perdagangan, aktivitas pariwisata, aktivitas keagamaan, aktivitas transportasi, dan sebagainya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Menkes menyampaikan bahwa strategi surveilans di satuan pendidikan dimulai secara masif sejalan dengan PTM terbatas yang harus dilakukan untuk menekan kerugian jangka panjang bagi peserta didik.
“Kita sadar bahwa kita harus melakukan/mulai pembelajaran tatap muka ini karena banyak long term disbenefit kalau kita tunda, makanya kita fokus sekali melakukan advanced surveillance untuk khususnya aktivitas [pembelajaran] tatap muka ini,” ujarnya.
Lebih lanjut Budi menerangkan, pemerintah akan secara aktif mencari kasus dengan tujuan deteksi di satuan pendidikan dengan menggunakan metode sampling.
“Kita tentukan di tingkat kabupaten/kota, berapa jumlah sekolah yang melaksanakan tatap muka. Dari situ kita ambil 10 persen untuk sampling, kemudian dari 10 persen ini kita bagi alokasinya berdasarkan kecamatan. Jadi kecamatan mana yang banyak sekolahnya otomatis dia akan lebih banyak [sampel],” terangnya.
Menkes menambahkan, sampling berdasarkan kecamatan itu dilakukan karena para epidemiolog menyampaikan bahwa penularan lebih berpotensi terjadi antarkecamatan dan karena itu wilayah epidemiologis per kecamatan harus dimonitor dengan ketat.
Selanjutnya, terang Budi, pemerintah akan melakukan tes PCR kepada 30 orang siswa dan 3 orang pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) untuk setiap sekolah yang rutin dilakukan minimal satu kali per bulan.
“Nanti kita akan lihat [hasilnya], sekolah-sekolah yang ada kasus positif tapi di bawah satu persen positivity rate-nya, normal saja. Kita cari kontak eratnya, yang positif [COVID-19] dikarantina, yang kontak erat kita isolasi, kemudian sekolahnya tetap berjalan,” terangnya.
Namun jika hasil pengujian menunjukkan positivity rate-nya antara 1-5 persen, maka pemerintah akan melakukan tes terhadap semua anggota rombongan belajar dan mereka akan dikarantina, sementara PTM terbatas tetap berjalan.
“Tapi kalau yang [positivity rate] di atas 5 persen, kita tesnya seluruh sekolah karena ada kemungkinan ini menyebarkan. Sekolahnya kita ubah menjadi online dulu, menjadi daring dulu selama 14 hari. Sambil kita rapihin, kita bersihkan, protokol kesehatannya mungkin mesti diperbaiki, direviu kembali oleh timnya Pak Nadiem dan dinas kesehatan,” tegas Budi.
Menurut Menkes, langkah tersebut memastikan bahwa surveilans dilakukan di level yang paling kecil. Jika terbukti ada penularan masif maka hanya sekolah yang bersangkutan yang akan ditutup, sedangkan sekolah dengan protokol kesehatan (prokes) yang baik akan tetap melakukan PTM terbatas.
“Kita memastikan bahwa surveilans itu dilakukan di level yang paling kecil. Kalau ada kemungkinan itu outbreak/meledak di sana, kita kuncinya satu sekolah saja. Enggak usah semua sekolah kemudian ditutup. Sekolah-sekolah yang lain, yang kebetulan prokes-nya bagus tetap bisa jalan,” tandasnya.
Dikesempatan yang sama, Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim meluruskan sejumlah kesalahpahaman terkait isu klaster pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas yang saat ini beredar di masyarakat.
Miskonsepsi pertama, adalah isu mengenai adanya klaster penularan akibat PTM terbatas yang mencapai 2,8 persen satuan pendidikan dalam satu bulan terakhir.
“[2,8 persen] itu adalah data kumulatif [sejak Juli 2020], bukan data per satu bulan,” ujar Nadiem.
Kedua, penularan Covid-19 belum tentu terjadi di satuan pendidikan. Nadiem menuturkan, persentase tersebut bukan data klaster melainkan data jumlah sekolah yang melaporkan adanya warga sekolah yang pernah tertular Covid-19.
“2,8 persen dari sekolah yang dilaporkan oleh sekolahnya ada yang [terkena] Covid-19, itu pun belum tentu mereka melaksanakan PTM,” ujarnya.
Ketiga, isu mengenai 15 ribu murid dan tujuh ribu guru yang terkonfirmasi positif selama PTM terbatas. Nadiem menegaskan bahwa data tersebut berasal dari satuan pendidikan yang belum diverifikasi.
“Itu berdasarkan laporan data mentah yang ternyata banyak sekali erornya. Contohnya, banyak sekali yang melaporkan jumlah positif COVID-19 melampaui daripada jumlah murid di sekolah–sekolahnya,” ungkapnya.
Lebih lanjut Mendikbudristek menegaskan bahwa pihaknya akan bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk meningkatkan pengendalian Covid-19 di satuan pendidikan.
“Ke depannya kami akan ada dua kolaborasi dengan Kemenkes. Pertama, [strategi surveilans] yang disebut [Menkes] Pak Budi tadi untuk memastikan bahwa ke sekolah-sekolah mendukung fasilitas random testing/sampling yang dilakukan. Kita akan secara spesifik akan menutup sekolah kalau sudah melampaui lima persen positivity rate,” terangnya.
Nadiem meyakini, data yang akan diperoleh akan lebih valid dan tepat sasaran serta tidak merugikan. Strategi kedua, adalah integrasi aplikasi PeduliLindungi dan implementasinya di satuan pendidikan.
“Kami sangat mendukung program ini yang secara proaktif akan menemukan dan secara statistik akan mencapai level akurasi yang tinggi untuk menunjukkan apakah kita patut khawatir apa tidak,” tandasnya.
Nadiem juga menyampaikan kekhawatirannya mengenai masih sedikitnya jumlah sekolah yang melaksanakan PTM terbatas, yang berpotensi menyebabkan learning loss.
“Saya lebih khawatir bahwa hanya 40 persen dari sekolah kita yang bisa melakukan PTM, saat ini baru melakukan PTM. Jadi ada 60 persen sekolah kita yang sebenarnya sudah boleh melakukan PTM yang belum [melakukannya],” ungkapnya.
Nadiem memaparkan, sejumlah penelitian menunjukkan adanya risiko learning loss yang dapat terjadi akibat pembelajaran jarak jauh yang kurang optimal.
“Data dari Bank Dunia dan berbagai macam institusi riset menunjukkan betapa menyeramkannya learning loss yang bisa terjadi, ini di luar kondisi psikologis yang bisa terjadi. Apalagi di tingkat SD dan PAUD di mana mereka paling membutuhkan PTM, bahwa kalau sekolah-sekolah yang tidak dibuka dampaknya bisa permanen,” tandasnya.