Jakarta – Ekspor Industri pengolahan tanah air pada bulan Juli 2021 mencapai USD13,56 Miliar atau mengalami penurunan -3,63% bila dibandingkan dengan Juni 2021, sebagai akibat dari efek Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Namun bila melihat kinerja Januari-Juli 2021, sektor industri tancap gas dalam meningkatkan kinerja ekspornya. Pada periode tersebut, ekspor industri pengolahan mencapai USD94,62 Miliar, meningkat 31,36% dari periode yang sama tahun sebelumnya (y-o-y).
Sektor manufaktur berkontribusi 78,47% dari total ekspor nasional pada Januari-Juli 2021 sebesar USD120,57 Miliar, kinerja ini bahkan lebih tinggi dari tahun 2019.
”Di tengah pandemi, kinerja sektor industri masih bisa mencatat pertumbuhan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator, termasuk peningkatan ekspor. Meskipun saat ini aktivitas industri juga mengalami pembatasan dengan penerapan PPKM dan ada pelambatan ekspor sedikit, tapi secara tahunan kinerjanya semakin kencang. Saya pribadi berterima kasih kepada pelaku industri yang terus menjaga dan meningkatkan kinerja ekspornya di tengah pembatasan,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Kamis (19/8).
Komoditas ekspor nonmigas yang mengalami peningkatan pada Juli 2021 dibandingkan bulan sebelumnya adalah lemak hewan/nabati sebesar USD614 juta, kemudian berbagai produk kimia (USD71,5 juta), pupuk sebesar USD40,8 juta, pakaian dan aksesorinya (bukan rajutan) yang meningkat USD33,2 juta, serta nikel dan barang daripadanya (USD23 juta).
Dengan total impor Januari-Juli 2021 sebesar USD106,15 miliar, neraca perdagangan periode tersebut mengalami surplus USD14,42 miliar. Sedangkan pada Juli 2021, terjadi surplus sebesar USD2,59 miliar, meningkat 44,44% dibandingkan Juli 2020.
Menperin memberikan catatan, bahwa perkembangan industri dan peningkatan ekspor akan lebih optimal bila impor dapat ditekan. Untuk itu, pemerintah mendorong agar industri mengurangi ketergantungan terhadap impor sekaligus mendorong penguatan struktur industri manufaktur.
Terkait hal ini, Kemenperin telah mengeluarkan kebijakan Substitusi Impor 35% pada tahun 2022 dengan prioritas pada industri-industri dengan nilai impor yang besar pada tahun 2019 seperti mesin, kimia, logam, elektronika, makanan, peralatan listrik, tekstil, kendaraan bermotor, barang logam, serta karet dan bahan dari karet.
”Strategi yang ditempuh pemerintah adalah dengan menurunkan impor sehingga dapat merangsang pertumbuhan industri substitusi impor dalam negeri, peningkatan utilitas industri domestik, dan peningkatan investasi untuk produksi barang-barang substitusi impor,” papar Menperin.
Salah satu upaya peningkatan kinerja sektor industri sekaligus pemulihan ekonomi, yang juga akan berpengaruh pada peningkatan ekspor, adalah melakukan uji coba penerapan protokol kesehatan pada industri yang tergolong sektor esensial untuk dapat beroperasi dengan kapasitas penuh. Industri esensial adalah yang berorientasi ekspor atau domestik, serta merupakan bagian dari rantai pasok.
”Sedangkan industri esensial yang dapat mengikuti uji coba ini adalah yang berada dalam wilayah berstatus PPKM level 4, berkomitmen melaksanakan protokol kesehatan sesuai SE Menperin 3/2021, dan diprioritaskan bagi industri yang telah melaksanakan program vaksinasi,” jelas Menperin.
Ia menjelaskan, apabila dari uji coba tersebut tidak terjadi peningkatan kasus Covid-19 di industri, pihaknya akan membuka semua sektor industri di Jawa-Bali bisa beroperasi kembali.
”Karenanya, kami selalu menekankan pentingnya penerapan protokol kesehatan, tertib pelaporan Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI), serta percepatan vaksinasi bagi pekerja industri yang merupakan kunci penanggulangan pandemi sekaligus pemulihan ekonomi,” pungkas Agus.
Di tengah kondisi pandemi Covid-19, pada triwulan II tahun 2021, kinerja industri pengolahan nonmigas meningkat cukup signifikan sebesar 6,91%, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 7,07%.
Sektor manufaktur juga menjadi kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu 1,35%, juga terhadap PDB nasional sebesar 17,34%, lebih tinggi dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya.